|
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila;
b. bahwadalam era industrialisasi, masalah perselisihanhubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah;
c. bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada hurufa, b, dan c perluditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan– ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3989);
6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksuddengan :
1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerjadan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruhdalam satu perusahaan.
2. Perselisihan hakadalah perselisihan yang timbulkarena tidak dipenuhinya hak, akibatadanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan, perjanjian kerja, peraturan perusa-haan, atau perjanjiankerjabersama.
3. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat- syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjiankerjabersama.
4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungankerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
5. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
6. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksuddalam huruf a danb yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7.Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalandalambentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalandalambentuk lain.
8. Serikat pekerja/serikat buruhadalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruhdan keluarganya.
9. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalandalambentuk lain.
10. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihanhubungan industrial.
11. Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruhhanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
12. Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruhhanyadalam satu perusahaan.
13. Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahioleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
14. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliatoradalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat- syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruhhanyadalam satu perusahaan.
15. Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitraseadalah penyelesaian suatu perselisihankepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
16. Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipiliholeh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
17. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadapperselisihanhubungan industrial.
18. Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan Hubungan Industrial.
19. Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/ serikat buruhdan organisasipengusaha.
20. Hakim Kasasiadalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
21. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Jenis PerselisihanHubungan Industrial meliputi :
a. perselisihan hak;
b. perselisihankepentingan;
c. perselisihan pemutusan hubungankerja; dan
d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Pasal 3
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapaimufakat.
(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
(3) Apabiladalam jangkawaktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Pasal 4
(1) Dalam hal perundingan bipartit gagalsebagaimanadimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telahdilakukan.
(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawabdi bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggalditerimanya pengembalian berkas.
(3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.
(4) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.
(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penye- lesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh.
(6) Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapaikesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatankepada Pengadilan Hubungan Industrial.
BAB II
TATA CARA
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Melalui Bipartit
Pasal 6
(1) Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
harusdibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
(2) Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. nama lengkap dan alamat para pihak; b. tanggaldan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan; d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
Pasal 7
(1) Dalam hal musyawarahsebagaimana dimaksuddalam Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.
(2) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
(3) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
(4) Perjanjian Bersama yang telah didaftarsebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
(5) Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
(6) Dalam halpemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakaneksekusi.
Bagian Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi
Pasal 8
Penyelesaian perselisihanmelalui mediasidilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/ Kota.
Pasal 9
Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. beriman dan bertaqwakepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berbadan sehat menurut surat keterangandokter;
d. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan;
e. berwibawa, jujur,adil, dan berkelakuantidak tercela;
f. berpendidikansekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 10
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
Pasal 11
(1) Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir
dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanandan akomodasi yang besarnya ditetapkandengan Keputusan Menteri.
Pasal 12
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna
penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam halketerangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diaturdalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksuddalamayat (1).
Pasal 13
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak- pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta buktipendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka:
a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulissebagaimanadimaksudpada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktuselambat-lambatnya 10 (sepuluh) harikerja setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolakanjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksudpada huruf a, maka dalamwaktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut :
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkandariPerjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakanoleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikandapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisilipemohoneksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Pasal 14
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksuddalam ayat
(1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 15
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Pasal 16
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata kerja mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Pasal 17
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawabdi bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Pasal 18
(1) Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat pekerja/buruhbekerja.
(2) Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dandisepakati oleh para pihak.
(3) Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawabdi bidang ketenagakerjaan setempat.
Pasal 19
(1) Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus memenuhi syarat :
a. beriman dan bertaqwakepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. warga negara Indonesia;
c. berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d. pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S-1);
e. berbadan sehat menurut surat keterangandokter;
f. berwibawa, jujur,adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun;
h. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; dan
i. syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Konsiliator yang telah terdaftar sebagaimanadimaksuddalam ayat (1) diberi legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 20
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliatorharus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudahdilakukan sidang konsiliasi pertama.
Pasal 21
(1) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima penggantian biaya perjalanandan akomodasi yang besarnya ditetapkandengan Keputusan Menteri.
Pasal 22
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan bukudan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam halketerangan yang diperlukanoleh konsiliatorterkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diaturdalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksuddalamayat (1).
Pasal 23
(1) Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkanakta buktipendaftaran.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihanhubungan industrial melaluikonsiliasi, maka :
a. konsiliatormengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulissebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktuselambat-lambatnya 10 (sepuluh) harikerja setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolakanjuran tertulis;
e. dalam …
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliatorharussudah selesaimembantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut
:
a. Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkandariPerjanjian Bersama;
b. apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikandapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan
eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan …
Pengadilan Negeri di wilayah domisilipemohoneksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Pasal 24
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
(2) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.
Pasal 25
Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) harikerjaterhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.
Pasal 26
(1) Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan penyelesaian perselisihan yang dibebankan kepada negara.
(2) Besarnya honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimak- suddalamayat (1) ditetapkanoleh Menteri.
Pasal 27
Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 28
Tata cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan pencabutan legitimasi konsiliator serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Keempat
Penyelesaian Melalui Arbitrase
Pasal 29
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Pasal 30
(1) Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial harus arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri.
(2) Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 31
(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana
dimaksuddalam Pasal 30 ayat (1) harus memenuhi syarat :
a. beriman dan bertaqwakepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. cakap melakukan tindakanhukum;
c. warga negara Indonesia;
d. pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
f. berbadan sehatsesuaidengan surat keterangandokter; g. menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase;
dan
h. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
(2) Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran arbiter diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 32
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
arbiter dilakukan atas dasarkesepakatan para pihak yang berselisih.
(2) Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu) yang mempunyaikekuatanhukum yang sama.
(3) Surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sekurang-kurangnya memuat :
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihandan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dandiambil putusan;
c. jumlaharbiter yang disepakati;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; dan
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dantanda
tangan para pihak yang berselisih.
Pasal 33
(1) Dalam hal para pihak telah menandatangani surat
perjanjian arbitrasesebagaimana dimaksuddalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
(3) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal, maka para pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) harikerjatentang nama arbiter dimaksud.
(4) Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat- lambatnya 3 (tiga) hari kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
(5) Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksuddalam ayat (3) dan ayat (4) dilakukan secara tertulis.
(6) Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal maupun beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana dimaksuddalam ayat
(2), maka atas permohonan salah satu pihak Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(7) Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.
(8) Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) harus memberitahukan kepada para pihak mengenai penerimaan penunjukannya secara tertulis.
Pasal 34
(1) Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (8) membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih.
(2) Perjanjian penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut :
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisihdan arbiter;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihandan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikandan diambilkeputusan;
c. biayaarbitrasedan honorarium arbiter;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase;
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dantanda tangan para pihak yang berselisihdan arbiter;
f. pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan
g. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
(3) Perjanjian arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya dibuat rangkap 3 (tiga), masing- masing pihak dan arbiter mendapatkan 1 (satu) yang mempunyaikekuatanhukum yang sama.
(4) Dalam …
(4) Dalam halarbitrasedilakukan oleh beberapa arbiter, maka asli dari perjanjian tersebut diberikan kepada Ketua Majelis Arbiter.
Pasal 35
(1) Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani surat perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka yang bersangkutan tidak dapat menarik diri,kecuali atas persetujuan para pihak.
(2) Arbiter yang akan menarik diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak.
(3) Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dalampenyelesaiankasus tersebut.
(4) Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para pihak, arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan alasan yang dapatditerima.
Pasal 36
(1) Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau
meninggal dunia, maka para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati oleh keduabelahpihak.
(2) Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau meninggal dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan kepada pihak yang memilih arbiter.
(3) Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter pengganti berdasarkan kesepakatan para arbiter.
(4) Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksuddalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus sudah mencapai kesepakatan menunjuk arbiter pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) harikerja.
(5) Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak atau salah satu arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada Pengadilan Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti dan Pengadilan harus menetapkan arbiter penggantidalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggalditerimanya permintaan penggantian arbiter.
Pasal 37
Arbiter pengganti sebagaimana dimaksuddalam Pasal 36 harus
membuat pernyataan kesediaan menerima hasil-hasil yang telahdicapaidan melanjutkan penyelesaian perkara.
Pasal 38
(1) Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrasedapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
(2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
(3) Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkartidak dapat diajukan perlawanan.
Pasal 39
(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua
Pengadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada arbiter yang bersangkutan.
(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang disepakati diajukan kepada majelis arbiter yang bersangkutan.
Pasal 40
(1) Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
(2) Pemeriksaan atas perselisihan harusdimulaidalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah penanda- tanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
(3) Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu) kali perpanjangan selambat- lambatnya 14 (empat belas) harikerja.
Pasal 41
Pemeriksaan perselisihanhubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendakilain.
Pasal 42
Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat
diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasakhusus.
Pasal 43
(1) Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai.
(2) Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
(3) Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian penunjukan arbiter sebelum perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter atau majelis arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya tersebut tidak dapat diminta kembali oleh para pihak.
Pasal 44
(1) Penyelesaian perselisihanhubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih.
(2) Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisihdan arbiter atau majelis arbiter.
(3) Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian.
(4) Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalamayat (3) dilakukansebagai berikut :
a. Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkandari Akta Perdamaian;
b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonaneksekusikepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonaneksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisilipemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
(5) Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.
Pasal 45
(1) Dalam persidanganarbitrase para pihak diberikesempatan untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter.
(2) Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau buktilainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Pasal 46
(1) Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebihuntuk didengar keterangannya.
(2) Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dankepercayaan masing-masing.
(3) Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan untuk melaksanakan pengambilan sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta.
(4) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepadapihak yang meminta.
(5) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli
yang diminta oleh arbiter dibebankan kepada para pihak.
Pasal 47
(1) Barangsiapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau
majelis arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang- undang iniwajib memberikannya, termasuk membukakan bukudan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam halketerangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harusditempuh prosedur sebagaimana diaturdalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Arbiter wajib merahasiakan semua keterangan yang
diminta sebagaimana dimaksuddalamayat (1).
Pasal 48
Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase
dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis
arbiter.
Pasal 49
Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilandan kepentingan umum.
Pasal 50
(1) Putusan arbitrase memuat :
a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c. nama lengkap dan alamat para pihak;
d. hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih;
e. ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang berselisih;
f. pertimbanganyang menjadidasar putusan; g. pokok putusan;
h. tempat dan tanggal putusan; i. mulaiberlakunya putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhikekuatan berlakunya putusan.
(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) harusdicantumkandalam putusan.
(4) Dalam putusan,ditetapkanselambat-lambatnya 14 (empat belas) harikerjaharus sudahdilaksanakan.
Pasal 51
(1) Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusanyang bersifatakhir dantetap.
(2) Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan.
(3) Dalam hal putusan arbitrase sebagaimanadimaksuddalam ayat (1) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusandiperintahkanuntuk dijalankan.
(4) Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase.
Pasal 52
(1) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila
putusan diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c. putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalampemeriksaan perselisihan;
d. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e. putusan bertentangan dengan peraturan perundang- undangan.
(2) Dalam hal permohonansebagaimana dimaksuddalam ayat
(1) dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
(3) Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.
Pasal 53
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah
diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 54
Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung
jawab hukum apapun atas segalatindakan yang diambilselama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidakbaik daritindakan tersebut.
BAB III
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu Umum
Pasal 55
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilankhusus yang berada pada lingkungan peradilan umum.
Pasal 56
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama danterakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihanpemutusan hubungankerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruhdalam satu perusahaan.
Pasal 57
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khususdalam undang-undang ini.
Pasal 58
Dalam proses beracaradi Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkaratidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 59
(1) Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang daerah hukumnya meliputi propinsi yang bersangkutan.
(2) Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 60
(1) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari :
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc;
c. Panitera Muda; dan d. Panitera Pengganti.
(2) Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah
Agung terdiri dari :
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c. Panitera.
Bagian Kedua
Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Hakim Kasasi Pasal 61
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 62
Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 63
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2) Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasipengusaha.
(3) Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial kepada Presiden.
Pasal 64
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwakepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setiakepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
e. berbadan sehatsesuaidengan keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur,adil, dan berkelakuantidak tercela;
g. berpendidikan serendah-rendahnya Strata Satu (S-1) kecuali bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikanSarjanaHukum; dan
h. berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.
Pasal 65
(1) Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut :
“ Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikanbarang sesuatu kepadasiapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidaklangsung darisiapapun juga suatu janji atau pemberian.
Sayabersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini denganjujur, seksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku.”
(2) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 66
(1) Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatansebagai :
a. anggota Lembaga Tinggi Negara; b. kepaladaerah/kepala wilayah;
c. lembaga legislatif tingkat daerah;
d. pegawainegerisipil; e. anggota TNI/Polri;
f. pengurus partai politik;
g. pengacara; h. mediator; i. konsiliator; j. arbiter; atau
k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasipengusaha.
(2) Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatansebagaimana dimaksuddalam ayat (1), jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat dibatalkan.
Pasal 67
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena :
a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (duabelas) bulan;
d. telah berumur 62 (enampuluh dua) tahunbagi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
e. tidakcakapdalam menjalankan tugas;
f. atas permintaan organisasipengusaha atau organisasi
pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan; atau g. telah selesai masa tugasnya.
(2) Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahundandapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 68
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikantidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. dipidana …
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. selama 3 (tiga) kaliberturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu) bulan melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya tanpa alasan yang sah; atau
c. melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2) Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 69
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikantidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara sebagai- mana dimaksud dalam ayat (1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 68 ayat (2).
Pasal 70
(1) Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia.
(2) Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur serikat pekerja/ serikat buruh dan 5 (lima) orang dari unsur organisasi pengusaha.
Pasal 71
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangannya.
(2) Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung sesuaidengan kewenangannya.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc.
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk danteguran kepada Hakim Kasasi.
(5) Petunjuk danteguran sebagaimana dimaksuddalam ayat (3) dan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi Pengadilan Hubungan Industrial dalam memeriksa dan memutus perselisihan.
Pasal 72
Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan tidak hormat, dan pemberhentian sementara Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 73
Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti
Pasal 74
(1) Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Muda sebagai- mana dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 75
(1) Sub Kepaniteraansebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) mempunyai tugas :
a. menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial; dan
b. membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalambukuperkara.
(2) Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hurufb, sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis perselisihan.
Pasal 76
Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang, penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan.
Pasal 77
(1) Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi Pemerintah yang bertanggung jawabdi bidang ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 78
Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 79
(1) Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita Acara.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.
Pasal 80
(1) Panitera Mudabertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat lainnya yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
(2) Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) baik asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub Kepaniteraan kecuali atas izin Panitera Muda.
BAB IV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim
Paragraf 1
Pengajuan Gugatan
Pasal 81
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputitempat pekerja/buruhbekerja.
Pasal 82
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya
keputusan daripihak pengusaha.
Pasal 83
(1) Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah
penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatankepada pengugat.
(2) Hakim …
(2) Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatannya.
Pasal 84
Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat
diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasakhusus.
Pasal 85
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelumtergugat memberikan jawaban.
(2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial hanya apabila
disetujuitergugat.
Pasal 86
Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan
kepentingan.
Pasal 87
Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasipengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.
Pasal 88
(1) Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat- lambatnya 7 (tujuh) harikerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan.
(2) Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatan- nya diusulkan oleh serikat pekerja/serikat buruh dan seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (2).
(3) Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal 89
(1) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang pertama.
(2) Pemanggilan untuk datang kesidang dilakukan secara sah apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui disampaikan di tempat kediaman terakhir.
(3) Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.
(4) Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau melalui orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya.
Pasal 90
(1) Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan guna diminta dan didengar keterangannya.
(2) Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan kesaksiannyadibawah sumpah.
Pasal 91
(1) Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannyatanpa syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2) Dalam halketerangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diaturdalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Hakim wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksuddalamayat (1).
Pasal 92
Sidang sah apabila dilakukan oleh Majelis Hakim sebagaimana dimaksuddalam Pasal 88 ayat (1).
Pasal 93
(1) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadirisidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari sidang berikutnya.
(2) Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) harikerjaterhitung sejak tanggal penundaan.
(3) Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Pasal 94
(1) Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi.
(2) Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksuddalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksuddalam Pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpadihadiritergugat.
Pasal 95
(1) Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim menetapkan lain.
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata tertib persidangan.
(3) Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.
Pasal 96
(1) Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasaditerima pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Putusan Selasebagaimana dimaksuddalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itujuga atau pada hari persidangan kedua.
(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuahPenetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 97
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihanhubungan industrial.
Paragraf 3
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Pasal 98
(1) Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohonkepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketadipercepat.
(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksuddalam ayat
(2) tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 99
(1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), menentukan Majelis Hakim, hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.
(2) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukantidak melebihi 14 (empat belas) harikerja.
Paragraf 4
Pengambilan Putusan
Pasal 100
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbang- kan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dankeadilan.
Pasal 101
(1) Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepadapihak yang tidak hadir tersebut.
(3) Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat putusan Pengadilantidak sah dan tidakmempunyaikekuatanhukum.
Pasal 102
(1) Putusan Pengadilan harus memuat :
a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
c. ringkasan pemohon/penggugat danjawaban termohon/ tergugat yang jelas;
d. pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketaitu diperiksa;
e. alasanhukum yang menjadidasar putusan; f. amar putusan tentang sengketa;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidakhadirnya para pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 103
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat- lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.
Pasal 104
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksuddalam Pasal 103 ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.
Pasal 105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) harikerja setelah putusan Majelis Hakim dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksuddalam Pasal 101 ayat (2).
Pasal 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani, Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan putusan.
Pasal 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak.
Pasal 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat
mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.
Pasal 109
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
merupakan putusan akhirdan bersifat tetap.
Pasal 110
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalamwaktuselambat-lambatnya 14 (empat belas) harikerja :
a. bagipihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalamsidang majelis hakim;
b. bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.
Pasal 111
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonankasasiharus sudah menyampaikan berkasperkara kepada Ketua Mahkamah Agung.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi
Pasal 113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan
mengadili perkara perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 115
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) harikerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonankasasi.
BAB V
SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN PIDANA
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif
Pasal 116
(1) Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalamwaktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) harikerja tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat dikenakan sanksi
administratif berupa hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.
(2) Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan Panitera yang tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7 (tujuh) harikerjasebagaimana dimaksuddalam Pasal 107 dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 117
(1) Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerjasebagaimana dimaksuddalam Pasal 23 ayat (2) butir b atau tidak membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf e dapat dikenakan sanksi administratif berupa tegurantertulis.
(2) Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagaikonsiliator.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai konsiliator diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 118
Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagaikonsiliatordalam hal :
a. konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator sebagaimana dimaksuddalam Pasal 117 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali;
b. terbukti melakukantindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan; dan/atau
d. membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).
Pasal 119
(1) Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangansebagaimana dimaksuddalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaansebagaimana dimaksuddalam Pasal 48,dapat dikenakan sanksiadministratif berupateguran tertulis.
(2) Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksiadministratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter.
(3) Sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2), baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedangditanganinya.
(4) Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan untuk jangkawaktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 120
(1) Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan tetap sebagai arbiter dalam hal :
a. arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan arbitrase perselisihan hubungan industrial melampaui kekuasaannya, bertentangan dengan per- aturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut;
b. terbukti melakukantindak pidana kejahatan;
c. menyalahgunakan jabatan;
d. arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter sebagaimana dimaksuddalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali.
(2) Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan perselisihan yang sedangditanganinya.
Pasal 121
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
117, Pasal 118, Pasal 119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebihlanjut dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana
Pasal 122
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakantindak pidanapelanggaran.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 123
Dalam halterjadi perselisihanhubungan industrial padausaha- usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah, maka perselisihannya diselesaikansesuaidengan ketentuan undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 124
(1) Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerahdan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan undang-undang ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja yang telah diajukan kepada :
a. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-lembaga lain yang setingkat yang
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau pemutusan …
pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat;
b. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf a yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan
putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
c. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
d. Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf c yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari, maka diselesaikan
oleh Mahkamah Agung.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 125
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini, maka :
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
b. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2686); dinyatakantidakberlakulagi.
(2) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di
Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 126
Undang–undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkandi Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 6
P E N J E L A S A N A T A S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
I. UMUM
Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara keduabelahpihak.
Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat
terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjiankerjabersama maupun peraturan perundang- undangan.
Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama inidiatur didalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan karena hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihakuntuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perludicari jalan keluar yang terbaik bagikedua
belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-undang ini akan dapat menyelesaikan kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak.
Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasidalam dunia industri yang diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan tidak dapat dibatasi. Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan ini dapat mengakibatkan perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh yang pada umumnya berkaitandengan masalah keanggotaan dan keterwakilan didalam perundingan pembuatan perjanjiankerjabersama.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang selama ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial dirasa tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadi, karena hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang selama ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif, sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh secara perseorangan belum terakomodasi.
Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) sebagai obyek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baikoleh pihak pekerja/ buruh maupun oleh pengusahauntuk mencarikeadilan menjadi semakin panjang.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian bipartit inidilakukan melalui musyawarahmufakat oleh para pihak tanpadicampuri oleh pihak manapun.
Namun demikian, Pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha, berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih.
Dengan adanya era demokratisasidi segalabidang, maka perludiakomodasi keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melaluikonsiliasi atau arbitrase.
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam undang-undang ini merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial.
Dengan pertimbangan-pertimbangan dimaksud di atas, undang-undang ini
mengatur penyelesaian perselisihanhubungan industrial yang disebabkan oleh :
a. perbedaan pendapat atau kepentingan mengenaikeadaan ketenagakerjaan yang belum diaturdalam perjanjiankerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerjabersama, atau peraturan perundang-undangan;
b. kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
c. pengakhiran hubungan kerja;
d. perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajibankeserikat pekerjaan.
Dengan cakupan materi perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud di atas, maka undang-undang ini memuat pokok-pokok sebagai berikut :
1. Pengaturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di perusahaan swasta maupun perusahaandi lingkungan Badan Usaha Milik Negara.
2. Pihak yang berperkara adalahpekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasiserikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara serikat pekerja/serikat buruhdengan serikat pekerja/serikat buruhlaindalam satu perusahaan.
3. Setiapperselisihanhubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara musyawarahuntuk mufakatoleh para pihak yang berselisih (bipartit).
4. Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal,
maka salah satu pihak atau keduabelahpihak mencatatkan perselisihannya pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
5. Perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian perselisihan melalui arbitrase atas kesepakatan keduabelahpihakhanya perselisihankepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Apabilatidak ada kesepakatankedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihannya melalui konsiliasi atau arbitrase, maka sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulumelalui mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya perkara perselisihanhubungan industrial dipengadilan.
6. Perselisihan hak yang telahdicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaantidak dapat diselesaikan melaluikonsiliasi atau arbitrase namun sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulumelalui mediasi.
7. Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukangugatankePengadilan Hubungan Industrial.
8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrasedilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dantidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung.
9. Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum dandibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung.
10. Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dantahapannya dengan tidak membukakesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Sedangkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama danterakhir yang tidak dapat di mintakankasasike Mahkamah
Agung.
11. Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasipengusahadan organisasipekerja/organisasi buruh.
12. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
13. Untuk menegakkan hukum ditetapkan sanksi sehingga dapat merupakan alat paksa yang lebih kuat agar ketentuan undang-undang iniditaati.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif, yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjiankerjabersama, atau peraturan perundang-undangan.
Hurufb
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud perundingan bipartit dalam pasal ini adalah perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh danserikat pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam pasal ini memberikan kebebasan bagi pihak yang berselisih untuk secara bebas memilih cara penyelesaian perselisihan yang merekakehendaki.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Oleh karena mediator adalah seorang pegawai negeri sipil, maka selain syarat-syarat yang ada dalam pasal ini harus dipertimbangkan pula ketentuan yang mengatur tentang pegawai negerisipilpada umumnya.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Saksi ahli yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seseorang yang mempunyaikeahliankhusus dibidangnya termasuk Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau surat perintah lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk mediator.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan harus menjagakerahasiaannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagaisaksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening milik pihak lain akandilayani oleh pejabat bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang bersangkutan (Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian pula ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain- lain.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksudkan dengan anjuran tertulis adalah pendapat atau saran tertulis yang diusulkan oleh mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka.
Hurufb
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan mengenai pengajuan gugatan yang diatur dalam ayat ini
sesuai dengan tata cara penyelesaian perkara perdata pada peradilan umum.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Hurufb
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruff
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Yang dimaksuddengan syarat lain dalam huruf i ini adalah antara lain : pengaturan tentang standar kompetensikonsiliator, pelatihan calon atau konsiliator, seleksi bagi calon konsiliator, dan masalah teknislainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau surat perintah lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh orang yang ditunjukkonsiliator.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan harus menjagakerahasiaannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksudsebagaisaksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening milik pihak lain akandilayani oleh pejabat bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian
pula ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain- lain.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Penetapan dalampasal inidimaksudkan untuk melindungikepentingan masyarakat, oleh karena itutidak setiap orang dapat bertindak sebagai arbiter.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Hurufb
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e …
Huruf e
Cukup jelas
Huruff
Cukup jelas
Huruf g
Mengingat keputusan arbiter ini mengikat para pihak dan bersifat akhir dan tetap, arbiter haruslah mereka yang kompeten di bidangnya, sehingga kepercayaan para pihak tidaksia-sia.
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Arbiter yang ditetapkan Pengadilan tidak boleh arbiter yang telah pernah ditolak oleh para pihak atau para arbiter tetapi harus arbiter lain.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan menerima hasil-hasil yang telah dicapai bahwa
arbiter penggantiterikat pada hasil arbiter yang digantikan yang tercermin dalamrisalah kegiatan penyelesaian perselisihan.
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Dalam hal terjadi penggantian arbiter maka jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja dihitung sejak arbiter pengganti menandatangani perjanjian arbitrase.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Yang dimaksud surat kuasa khusus dalam pasal ini adalah kuasa yang diberikan oleh pihak yang berselisih sebagai pemberi kuasa kepada seseorang atau lebih selakukuasanyauntuk mewakili pemberikuasauntuk melakukan perbuatanhukum dantindakan lainnya yang berkaitandengan perkaranya yang dicantumkan secara khususdalam surat kuasa.
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dipanggil secara patut” dalam ayat iniyaitu para pihak telahdipanggilberturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali, setiap panggilan masing-masingdalamwaktu 3 (tiga) hari.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksuddengan membukakan bukudan memperlihatkan surat- surat dalam pasal ini adalah, misalnya buku tentang upah atau surat perintah lembur dandilakukan oleh orang yang ahli soal pembukuan yang ditunjuk oleh arbiter.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan harus menjagakerahasiaannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksudsebagaisaksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan.
Contoh : Dalam hal seseorang meminta keterangan tentang rekening milik pihak lain akandilayani oleh pejabat bank apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian
pula ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain- lain.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Upaya hukum melalui permohonan pembatalan dimaksudkan untuk memberikesempatan kepadapihak berselisih yang dirugikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 53
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
- Berhubung Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan Ibu Kota Propinsi sekaligus Ibu Kota Negara Republik Indonesia memiliki
lebih dari satu Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Hubungan Industrial yang dibentuk untuk pertama kali dengan undang-undang ini adalah Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
- Dalam haldi ibukota propinsi terdapat Pengadilan Negeri Kota dan Pengadilan Negeri Kabupaten, maka Pengadilan Hubungan Industrial menjadi bagian Pengadilan Negeri Kota.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kata “segera” dalam ayat ini adalah bahwa dalamwaktu 6 (enam) bulan sesudah undang-undang ini berlaku.
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Ayat (1)
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata tertentu sesuaidengan agama masing-masing, misalnyauntuk penganut agama Islam “Demi Allah” sebelumlafal sumpahdan untuk penganut agama Kristen/Katholik kata-kata “Kiranya Tuhan akan menolong saya” sesudahlafal sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Hurufb
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan sakit jasmani atau rohani terus menerus adalah sakit yang menyebabkan penderita tidak mampu lagi melakukantugasnya dengan baik.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan tidak cakap menjalankan tugas misalnya sering melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas karena kurang mampu.
Huruff
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Yang dimaksud tunjangan dan hak-hak lainnya adalah tunjangan jabatan dan hak-hak yang menyangkut kesejahteraan.
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam penyempurnaan gugatan, Panitera atau Panitera Penganti dapat membantu penyusunan/menyempurnakan gugatan. Untuk itu Panitera atau Panitera Pengganti mencatat dalam daftarkhusus yang memuat :
- nama lengkap danalamat atau tempat kedudukan para pihak;
- pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan atau obyek gugatan;
- dokumen-dokumen, surat-surat dan hal-hallain yang dianggap perlu oleh penggugat.
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Yang dimaksud dengan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini meliputi pengurus pada tingkat perusahaan, tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Propinsi dan Pusat baik serikat pekerja/ serikat buruh, anggota federasi, maupun konfederasi.
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan harus menjaga kerahasiannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksudsebagaisaksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 92
Ketentuan sahnya persidangan dalampasal ini dimaksudkan setiap sidang harusdihadiri oleh Hakim danseluruh Hakim Ad-Hoc yang telahditunjuk untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Ayat (1)
Permintaan putusan seladisampaikan bersama-sama dengan materi gugatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Dengan ketentuan ini berarti jangka waktu membuat putusan asli dan salinan putusan dibatasi selama 14 (empat belas) hari kerja agar tidak merugikan hak para pihak.
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Cukup jelas
Pasal 110
Cukup jelas
Pasal 111
Yang dimaksuddengan Pengadilan Negeri setempat dalampasal ini adalah Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut.
Pasal 112
Cukup jelas
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas
Pasal 115
Cukup jelas
Pasal 116
Cukup jelas
Pasal 117
Cukup jelas
Pasal 118
Cukup jelas
Pasal 119
Cukup jelas
Pasal 120
Cukup jelas
Pasal 121
Cukup jelas
Pasal 122
Cukup jelas
Pasal 123
Cukup jelas
Pasal 124
Cukup jelas
Pasal 125
Cukup jelas
Pasal 126
Tenggang waktu dalam pasal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan penyediaan dan pengangkatan Hakim dan Hakim Ad Hoc, persiapan sarana dan prasarana seperti penyediaan kantor dan ruang sidang Pengadilan Hubungan Industrial.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4356
|
|