Tax100 税百

  • 在线人数 358
  • Tax100会员 29872
查看: 24|回复: 0

[东南亚] 印度尼西亚《2004年第2号工业关系争议解决法》

1012

主题

2049

帖子

5138

积分

实习版主

Rank: 7Rank: 7Rank: 7

积分
5138
2024-11-29 14:02:38 | 显示全部楼层 |阅读模式
政策文件
政策原文链接: https://peraturan.bpk.go.id/Details/40452/uu-no-2-tahun-2004
发文单位:
文件编号: -
文件名: 2004年第2号工业关系争议解决法
发文日期:
政策解读: -
备注: -
纵横四海点评: -
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR  2  TAHUN  2004
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :
a.  bahwa   hubungan   industrial   yang   harmonis,    dinamis,   dan berkeadilan  perlu   diwujudkan  secara  optimal  sesuai  dengan nilai-nilai Pancasila;
b.  bahwadalam era industrialisasi, masalah perselisihanhubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan  institusi  dan  mekanisme  penyelesaian  perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah;
c.   bahwa   Undang-undang   Nomor   22    Tahun    1957    tentang
Penyelesaian   Perselisihan    Perburuhan   dan    Undang-undang
Nomor  12 Tahun  1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan   Swasta   sudah   tidak    sesuai   dengan   kebutuhan masyarakat;
d.  bahwa  berdasarkan  pertimbangan   sebagaimana  tersebut  pada hurufa, b, dan c perluditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial;


Mengingat    :  
1.  Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan  ayat  (2),  dan  Pasal  28  D  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.   Undang-undang  Nomor   14  Tahun   1970  tentang   Ketentuan– ketentuan  Pokok  Kekuasaan  Kehakiman  (Lembaran  Negara Tahun  1970  Nomor  74,  Tambahan  Lembaran  Negara  Nomor
2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
35  Tahun  1999  (Lembaran  Negara  Tahun   1999  Nomor  147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
3.  Undang-undang  Nomor   14   Tahun   1985  tentang  Mahkamah Agung  (Lembaran Negara Tahun  1985  Nomor  73,  Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
4.  Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
5.  Undang-undang   Nomor    21    Tahun   2000    tentang    Serikat Pekerja/Serikat Buruh  (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3989);
6.  Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);


Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


MEMUTUSKAN  :
Menetapkan   :     UNDANG-UNDANG        TENTANG        PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksuddengan :
1.   Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang  mengakibatkan  pertentangan   antara  pengusaha   atau gabungan   pengusaha   dengan   pekerja/buruh   atau   serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,   perselisihan   kepentingan,   perselisihan   pemutusan hubungan kerjadan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruhdalam satu perusahaan.
2.  Perselisihan hakadalah perselisihan yang timbulkarena tidak dipenuhinya hak, akibatadanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran    terhadap    ketentuan    peraturan    perundang- undangan,  perjanjian   kerja,   peraturan  perusa-haan,   atau perjanjiankerjabersama.
3.     Perselisihan  kepentingan   adalah  perselisihan  yang  timbul dalam  hubungan  kerja  karena  tidak   adanya   kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat- syarat  kerja  yang  ditetapkan  dalam  perjanjian  kerja,  atau peraturan perusahaan, atau perjanjiankerjabersama.
4.     Perselisihan  pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang   timbul   karena   tidak   adanya   kesesuaian   pendapat mengenai pengakhiran hubungankerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
5.     Perselisihan   antar   serikat   pekerja/serikat    buruh   adalah perselisihan   antara   serikat   pekerja/serikat   buruh   dengan serikat   pekerja/serikat   buruh    lain   hanya    dalam    satu perusahaan,    karena    tidak    adanya    persesuaian    paham mengenai  keanggotaan,  pelaksanaan  hak,  dan  kewajiban keserikatpekerjaan.
6.     Pengusaha adalah :
a.   orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.   orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara  berdiri  sendiri  menjalankan  perusahaan  bukan miliknya;
c.   orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada  di  Indonesia  mewakili  perusahaan  sebagaimana dimaksuddalam huruf a danb yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7.Perusahaan adalah :
a.  setiap  bentuk  usaha  yang  berbadan  hukum  atau  tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan  hukum,  baik  milik  swasta  maupun  milik  negara yang  mempekerjakan  pekerja/buruh  dengan  membayar upah atau imbalandalambentuk lain;
b.  usaha-usaha     sosial     dan     usaha-usaha     lain     yang mempunyai  pengurus  dan  mempekerjakan  orang  lain dengan membayar upah atau imbalandalambentuk lain.
8.      Serikat pekerja/serikat buruhadalah organisasi yang dibentuk dari,  oleh,  dan  untuk  pekerja/buruh  baik  di  perusahaan maupun  di  luar  perusahaan,  yang  bersifat  bebas,  terbuka, mandiri,   demokratis,   dan   bertanggung  jawab           guna memperjuangkan,  membela  serta  melindungi  hak         dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruhdan keluarganya.
9.      Pekerja/buruh  adalah  setiap  orang  yang  bekerja  dengan menerima upah atau imbalandalambentuk lain.
10.    Perundingan   bipartit   adalah   perundingan   antara   pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihanhubungan industrial.
11.     Mediasi   Hubungan   Industrial   yang    selanjutnya   disebut mediasi  adalah  penyelesaian  perselisihan  hak,  perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan   kerja,  dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruhhanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah   yang  ditengahi  oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
12.   Mediator  Hubungan   Industrial  yang   selanjutnya   disebut mediator    adalah     pegawai    instansi    pemerintah     yang bertanggung   jawab    di    bidang    ketenagakerjaan    yang memenuhi  syarat-syarat  sebagai  mediator  yang  ditetapkan oleh   Menteri   untuk   bertugas   melakukan   mediasi    dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak,   perselisihan   kepentingan,   perselisihan   pemutusan hubungan  kerja,   dan  perselisihan   antar   serikat   pekerja/ serikat buruhhanyadalam satu perusahaan.
13.   Konsiliasi  Hubungan  Industrial  yang  selanjutnya  disebut konsiliasi   adalah   penyelesaian   perselisihan   kepentingan, perselisihan    pemutusan  hubungan  kerja  atau  perselisihan antar   serikat   pekerja/serikat   buruh      hanya   dalam   satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahioleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
14.   Konsiliator  Hubungan  Industrial  yang  selanjutnya  disebut konsiliatoradalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat- syarat  sebagai  konsiliator  ditetapkan  oleh  Menteri,  yang bertugas   melakukan    konsiliasi   dan    wajib   memberikan anjuran  tertulis  kepada  para  pihak  yang  berselisih  untuk menyelesaikan     perselisihan     kepentingan,      perselisihan pemutusan  hubungan  kerja  atau  perselisihan  antar  serikat pekerja/serikat buruhhanyadalam satu perusahaan.
15.   Arbitrase  Hubungan  Industrial  yang   selanjutnya   disebut arbitraseadalah penyelesaian suatu perselisihankepentingan, dan  perselisihan  antar  serikat  pekerja/serikat  buruh  hanya dalam   satu   perusahaan,    di   luar   Pengadilan   Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih   untuk   menyerahkan   penyelesaian   perselisihan kepada  arbiter  yang  putusannya  mengikat  para  pihak  dan bersifat final.
16.    Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipiliholeh para pihak yang berselisih  dari  daftar  arbiter  yang  ditetapkan  oleh  Menteri untuk     memberikan      putusan     mengenai     perselisihan kepentingan,  dan  perselisihan  antar  serikat  pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan           yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
17.    Pengadilan  Hubungan  Industrial  adalah  pengadilan  khusus yang   dibentuk    di   lingkungan   pengadilan    negeri   yang berwenang  memeriksa,  mengadili  dan  memberi  putusan terhadapperselisihanhubungan industrial.
18.    Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan Hubungan Industrial.
19.    Hakim  Ad-Hoc  adalah  Hakim  Ad-Hoc  pada  Pengadilan Hubungan  Industrial  dan  Hakim  Ad-Hoc pada  Mahkamah Agung  yang  pengangkatannya  atas  usul  serikat  pekerja/ serikat buruhdan organisasipengusaha.
20.  Hakim Kasasiadalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah  Agung  yang  berwenang  memeriksa,  mengadili dan   memberi   putusan    terhadap    perselisihan    hubungan industrial.
21.  Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.


Pasal 2
Jenis PerselisihanHubungan Industrial meliputi :
a.     perselisihan hak;
b.    perselisihankepentingan;
c.     perselisihan pemutusan hubungankerja; dan
d.    perselisihan  antar  serikat pekerja/serikat buruh hanya  dalam satu perusahaan.
Pasal 3
(1)  Perselisihan     hubungan      industrial     wajib      diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapaimufakat.
(2)  Penyelesaian   perselisihan   melalui   bipartit    sebagaimana dimaksud  dalam  ayat  (1),  harus  diselesaikan  paling  lama 30   (tiga   puluh)    hari    kerja   sejak   tanggal    dimulainya perundingan.
(3)    Apabiladalam jangkawaktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud  dalam  ayat  (2)  salah  satu  pihak  menolak  untuk berunding  atau  telah  dilakukan  perundingan  tetapi  tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.


Pasal 4
(1)  Dalam hal perundingan bipartit gagalsebagaimanadimaksud dalam Pasal  3  ayat  (3),  maka  salah  satu  atau  kedua  belah pihak  mencatatkan  perselisihannya  kepada  instansi  yang bertanggung  jawab   di   bidang   ketenagakerjaan   setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telahdilakukan.
(2)  Apabila bukti-bukti  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawabdi bidang    ketenagakerjaan    mengembalikan    berkas     untuk dilengkapi paling  lambat  dalam waktu  7  (tujuh)  hari  kerja terhitung sejak tanggalditerimanya pengembalian berkas.
(3)   Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat   wajib   menawarkan   kepada   para   pihak   untuk menyepakati  memilih  penyelesaian  melalui  konsiliasi  atau melalui arbitrase.
(4)  Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja,  maka  instansi  yang  bertanggung  jawab   di  bidang ketenagakerjaan    melimpahkan    penyelesaian    perselisihan kepada mediator.
(5)   Penyelesaian   melalui   konsiliasi   dilakukan   untuk   penye- lesaian   perselisihan   kepentingan,   perselisihan   pemutusan hubungan  kerja,   atau  perselisihan   antar   serikat  pekerja/ serikat buruh.
(6)   Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan   kepentingan   atau   perselisihan    antar   serikat pekerja/serikat buruh.


Pasal 5
Dalam  hal  penyelesaian  melalui  konsiliasi  atau  mediasi  tidak mencapaikesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatankepada Pengadilan Hubungan Industrial.


BAB II
TATA CARA
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


Bagian Kesatu
Penyelesaian Melalui Bipartit


Pasal 6
(1)    Setiap  perundingan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  3
harusdibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak.


(2)   Risalah  perundingan  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a.  nama lengkap dan alamat para pihak; b.  tanggaldan tempat perundingan;
c.  pokok masalah atau alasan perselisihan; d.  pendapat para pihak;
e.  kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f.  tanggal  serta  tanda  tangan  para  pihak  yang  melakukan perundingan.


Pasal 7
(1)  Dalam hal musyawarahsebagaimana dimaksuddalam Pasal 3 dapat   mencapai   kesepakatan   penyelesaian,   maka    dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.
(2)  Perjanjian  Bersama  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
(3)  Perjanjian  Bersama  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.
(4)  Perjanjian Bersama yang telah didaftarsebagaimana dimaksud dalam  ayat  (3)  diberikan  akta  bukti  pendaftaran  Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
(5)   Apabila  Perjanjian  Bersama  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi   kepada    Pengadilan   Hubungan    Industrial   pada Pengadilan  Negeri  di  wilayah  Perjanjian  Bersama  didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
(6)   Dalam halpemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud  dalam  ayat   (3),  maka  pemohon   eksekusi  dapat mengajukan    permohonan    eksekusi    melalui    Pengadilan Hubungan  Industrial  pada  Pengadilan  Negeri  di  wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan    Industrial    pada    Pengadilan    Negeri    yang berkompeten melaksanakaneksekusi.
Bagian Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi


Pasal 8
Penyelesaian perselisihanmelalui mediasidilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/ Kota.


Pasal 9
Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.   beriman dan bertaqwakepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.   warga negara Indonesia;
c.   berbadan sehat menurut surat keterangandokter;
d.   menguasai   peraturan    perundang-undangan   di   bidang ketenagakerjaan;
e.   berwibawa, jujur,adil, dan berkelakuantidak tercela;
f.   berpendidikansekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g.   syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 10
Dalam  waktu  selambat-lambatnya  7  (tujuh)  hari  kerja   setelah
menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah  mengadakan  penelitian  tentang  duduknya  perkara  dan segera mengadakan sidang mediasi.


Pasal 11
(1)  Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir
dalam    sidang    mediasi     guna     diminta    dan    didengar keterangannya.
(2)  Saksi  atau  saksi  ahli  yang  memenuhi  panggilan  berhak menerima penggantian biaya perjalanandan akomodasi yang besarnya ditetapkandengan Keputusan Menteri.




Pasal 12
(1)   Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna
penyelesaian  perselisihan  hubungan   industrial  berdasarkan undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan  buku  dan  memperlihatkan  surat-surat  yang diperlukan.
(2)   Dalam halketerangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan  seseorang  yang  karena  jabatannya  harus  menjaga kerahasiaan,  maka  harus  ditempuh  prosedur   sebagaimana diaturdalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)   Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
sebagaimana dimaksuddalamayat (1).


Pasal 13
(1)   Dalam  hal  tercapai  kesepakatan  penyelesaian  perselisihan
hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh   mediator    serta   didaftar   di    Pengadilan   Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak- pihak mengadakan  Perjanjian  Bersama untuk mendapatkan akta buktipendaftaran.
(2)   Dalam    hal     tidak    tercapai    kesepakatan    penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka:
a.  mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b.  anjuran tertulissebagaimanadimaksudpada huruf a dalam waktu  selambat-lambatnya  10  (sepuluh)  hari kerja  sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c.  para  pihak  harus   sudah  memberikan  jawaban   secara tertulis  kepada  mediator  yang  isinya  menyetujui  atau menolak anjuran tertulis dalam waktuselambat-lambatnya 10 (sepuluh) harikerja setelah menerima anjuran tertulis;
d.  pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolakanjuran tertulis;
e.  dalam   hal   para   pihak   menyetujui   anjuran   tertulis sebagaimana dimaksudpada huruf a, maka dalamwaktu selambat-lambatnya  3  (tiga)  hari  kerja   sejak  anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar    di    Pengadilan    Hubungan    Industrial    pada Pengadilan   Negeri    di   wilayah   hukum   pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3)   Pendaftaran  Perjanjian  Bersama   di  Pengadilan  Hubungan Industrial  pada  Pengadilan  Negeri   sebagaimana  dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai  berikut :
a.  Perjanjian  Bersama  yang  telah   didaftar  diberikan  akta bukti  pendaftaran   dan   merupakan  bagian  yang  tidak terpisahkandariPerjanjian Bersama;
b.  apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakanoleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikandapat mengajukan permohonan   eksekusi   kepada   Pengadilan   Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c.  dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri  tempat  pendaftaran  Perjanjian  Bersama,  maka pemohon    eksekusi     dapat    mengajukan     permohonan eksekusi  melalui  Pengadilan  Hubungan  Industrial  pada Pengadilan Negeri di wilayah domisilipemohoneksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan   Negeri    yang   berkompeten    melaksanakan eksekusi.


Pasal 14
(1)     Dalam  hal  anjuran  tertulis  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal  13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para  pihak,  maka  para  pihak  atau  salah  satu  pihak  dapat melanjutkan    penyelesaian     perselisihan     ke    Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
(2)    Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksuddalam ayat
(1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak  di  Pengadilan  Hubungan  Industrial  pada  Pengadilan Negeri setempat.


Pasal 15
Mediator    menyelesaikan    tugasnya    dalam    waktu     selambat- lambatnya  30  (tiga  puluh)  hari  kerja  terhitung  sejak  menerima pelimpahan   penyelesaian   perselisihan    sebagaimana   dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).


Pasal 16
Ketentuan  mengenai  tata  cara  pengangkatan  dan  pemberhentian mediator   serta  tata  kerja  mediasi  diatur     dengan   Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Melalui Konsiliasi


Pasal 17
Penyelesaian   perselisihan    melalui   konsiliasi    dilakukan   oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawabdi bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.


Pasal 18
(1)    Penyelesaian       perselisihan      kepentingan,       perselisihan pemutusan  hubungan  kerja   atau  perselisihan   antar  serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam  satu perusahaan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat pekerja/buruhbekerja.
(2)    Penyelesaian  oleh  konsiliator  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat   (1),    dilaksanakan   setelah   para   pihak   mengajukan permintaan  penyelesaian  secara  tertulis  kepada  konsiliator yang ditunjuk dandisepakati oleh para pihak.
(3)    Para  pihak  dapat  mengetahui  nama  konsiliator  yang  akan dipilih  dan  disepakati  dari  daftar  nama  konsiliator  yang dipasang  dan  diumumkan  pada  kantor  instansi  Pemerintah yang bertanggung jawabdi bidang ketenagakerjaan setempat.


Pasal 19
(1)    Konsiliator  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal   17,  harus memenuhi syarat :
a.   beriman dan bertaqwakepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.  warga negara Indonesia;
c.   berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
d.  pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S-1);
e.   berbadan sehat menurut surat keterangandokter;
f.   berwibawa, jujur,adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g.  memiliki   pengalaman   di   bidang   hubungan   industrial sekurang-kurangnya  5 (lima)  tahun;
h.  menguasai   peraturan    perundang-undangan   di   bidang ketenagakerjaan;  dan
i.    syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(2)    Konsiliator yang telah terdaftar sebagaimanadimaksuddalam ayat  (1)  diberi  legitimasi  oleh  Menteri  atau  Pejabat  yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.


Pasal 20
Dalam  waktu  selambat-lambatnya  7  (tujuh)  hari  kerja  setelah menerima  permintaan  penyelesaian  perselisihan  secara  tertulis, konsiliatorharus sudah  mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudahdilakukan sidang konsiliasi pertama.


Pasal 21
(1)    Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam    sidang    konsiliasi    guna    diminta    dan    didengar keterangannya.
(2)    Saksi   atau   saksi   ahli   yang  memenuhi  panggilan  berhak menerima penggantian biaya perjalanandan akomodasi yang besarnya ditetapkandengan Keputusan Menteri.


Pasal 22
(1)    Barang  siapa  yang  diminta  keterangannya  oleh  konsiliator guna     penyelesaian     perselisihan     hubungan     industrial berdasarkan     undang-undang      ini,     wajib     memberikan keterangan termasuk membukakan bukudan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2)    Dalam halketerangan yang diperlukanoleh konsiliatorterkait dengan  seseorang  yang  karena  jabatannya  harus  menjaga kerahasiaan,  maka  harus  ditempuh  prosedur  sebagaimana diaturdalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)    Konsiliator   wajib   merahasiakan    semua   keterangan   yang diminta sebagaimana dimaksuddalamayat (1).


Pasal 23
(1)   Dalam  hal  tercapai  kesepakatan  penyelesaian  perselisihan hubungan    industrial    melalui    konsiliasi,    maka     dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan   oleh   konsiliator   dan   didaftar   di   Pengadilan Hubungan  Industrial  pada  Pengadilan  Negeri  di  wilayah hukum pihak-pihak  mengadakan  Perjanjian  Bersama  untuk mendapatkanakta buktipendaftaran.
(2)   Dalam     hal    tidak     tercapai     kesepakatan    penyelesaian perselisihanhubungan industrial melaluikonsiliasi, maka :
a.  konsiliatormengeluarkan anjuran tertulis;
b.  anjuran tertulissebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu  selambat-lambatnya  10  (sepuluh)  hari  kerja  sejak sidang   konsiliasi   pertama      harus   sudah   disampaikan kepada para pihak;
c.  para  pihak  harus   sudah   memberikan  jawaban   secara tertulis  kepada  konsiliator  yang  isinya  menyetujui  atau menolak anjuran tertulis dalam waktuselambat-lambatnya 10 (sepuluh) harikerja setelah menerima anjuran tertulis;
d.  pihak yang tidak memberikan pendapatnya  sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolakanjuran tertulis;


e. dalam …


e.  dalam   hal   para   pihak   menyetujui    anjuran   tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya   3   (tiga)   hari   kerja   sejak   anjuran tertulis disetujui, konsiliatorharussudah selesaimembantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar    di    Pengadilan    Hubungan     Industrial    pada Pengadilan  Negeri  di  wilayah  pihak-pihak  mengadakan Perjanjian   Bersama   untuk   mendapatkan    akta   bukti pendaftaran.
(3)   Pendaftaran   Perjanjian   Bersama   di   Pengadilan   Hubungan Industrial  pada  Pengadilan  Negeri  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai   berikut
:
a.    Perjanjian   Bersama  yang  telah  didaftar  diberikan  akta bukti  pendaftaran   dan   merupakan   bagian   yang   tidak terpisahkandariPerjanjian Bersama;
b.    apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikandapat mengajukan permohonan eksekusi    di    Pengadilan    Hubungan    Industrial    pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c.    dalam hal pemohon  eksekusi berdomisili  di  luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri  tempat  pendaftaran  Perjanjian  Bersama,  maka pemohon    eksekusi     dapat    mengajukan    permohonan
eksekusi  melalui  Pengadilan  Hubungan  Industrial  pada   Pengadilan …


Pengadilan Negeri di wilayah domisilipemohoneksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan   Negeri    yang   berkompeten   melaksanakan eksekusi.


Pasal 24
(1)   Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan   penyelesaian   perselisihan   ke   Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
(2)   Penyelesaian  perselisihan  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat  (1)  dilaksanakan  dengan  pengajuan  gugatan  oleh salah satu pihak.


Pasal 25
Konsiliator  menyelesaikan  tugasnya  dalam  waktu  selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) harikerjaterhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.


Pasal 26
(1)   Konsiliator   berhak   mendapat  honorarium/imbalan  jasa berdasarkan  penyelesaian  perselisihan  yang  dibebankan kepada negara.
(2)   Besarnya  honorarium/imbalan  jasa  sebagaimana  dimak- suddalamayat (1) ditetapkanoleh Menteri.


Pasal 27
Kinerja konsiliator dalam  satu periode tertentu  dipantau dan dinilai oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.


Pasal 28
Tata  cara  pendaftaran  calon,  pengangkatan,  dan  pencabutan legitimasi konsiliator serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Keempat
Penyelesaian Melalui Arbitrase


Pasal 29
Penyelesaian    perselisihan     hubungan     industrial    melalui arbitrase  meliputi  perselisihan  kepentingan  dan  perselisihan antar    serikat    pekerja/serikat    buruh    hanya    dalam    satu perusahaan.


Pasal 30
(1)   Arbiter   yang    berwenang    menyelesaikan   perselisihan hubungan  industrial  harus  arbiter  yang  telah  ditetapkan oleh Menteri.
(2)   Wilayah  kerja  arbiter  meliputi   seluruh  wilayah  negara Republik  Indonesia.


Pasal 31
(1)   Untuk   dapat   ditetapkan    sebagai   arbiter   sebagaimana
dimaksuddalam Pasal 30 ayat (1) harus memenuhi  syarat :
a.   beriman dan bertaqwakepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.   cakap melakukan tindakanhukum;
c.   warga negara Indonesia;
d.   pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e.   berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
f.    berbadan sehatsesuaidengan surat keterangandokter;  g.   menguasai  peraturan  perundang-undangan  di  bidang         ketenagakerjaan  yang  dibuktikan  dengan  sertifikat atau bukti kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase;
dan
h.   memiliki  pengalaman  di  bidang hubungan  industrial sekurang-kurangnya  5 (lima) tahun.
(2)   Ketentuan mengenai pengujian  dan tata cara pendaftaran arbiter diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 32
(1)   Penyelesaian   perselisihan   hubungan   industrial   melalui
arbiter dilakukan atas dasarkesepakatan para pihak yang berselisih.
(2)   Kesepakatan   para   pihak  yang  berselisih   sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga)          dan masing-masing    pihak    mendapatkan     1    (satu)    yang mempunyaikekuatanhukum yang sama.
(3)   Surat  perjanjian  arbitrase  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (2), sekurang-kurangnya memuat :
a.    nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
b.    pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihandan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dandiambil putusan;
c.    jumlaharbiter yang disepakati;
d.    pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; dan
e.    tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dantanda
tangan para pihak yang berselisih.


Pasal 33
(1)   Dalam   hal   para   pihak   telah   menandatangani    surat
perjanjian arbitrasesebagaimana dimaksuddalam Pasal 32 ayat  (3)  para  pihak  berhak  memilih  arbiter  dari  daftar arbiter  yang ditetapkan oleh Menteri.
(2)   Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau   beberapa    arbiter  (majelis)  dalam   jumlah    gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.
(3)   Dalam  hal  para  pihak  sepakat  untuk  menunjuk  arbiter tunggal,   maka   para   pihak   harus    sudah    mencapai kesepakatan  dalam  waktu  selambat-lambatnya  7  (tujuh) harikerjatentang nama arbiter dimaksud.
(4)  Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak  memilih  seorang  arbiter  dalam  waktu  selambat- lambatnya  3  (tiga)  hari  kerja,  sedangkan  arbiter  ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya  7  (tujuh)  hari  kerja  untuk  diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
(5)  Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksuddalam ayat (3) dan ayat (4) dilakukan secara tertulis.
(6)  Dalam  hal  para  pihak  tidak  sepakat  untuk  menunjuk arbiter  baik  tunggal  maupun  beberapa  arbiter  (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana dimaksuddalam       ayat
(2),   maka   atas   permohonan   salah   satu   pihak   Ketua Pengadilan  dapat  mengangkat  arbiter  dari  daftar  arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(7)  Seorang  arbiter  yang  diminta  oleh  para  pihak,  wajib memberitahukan  kepada  para  pihak  tentang  hal  yang mungkin     akan    mempengaruhi    kebebasannya     atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.
(8)  Seseorang  yang  menerima  penunjukan  sebagai  arbiter sebagaimana     dimaksud     dalam     ayat     (6)     harus memberitahukan kepada para pihak mengenai penerimaan penunjukannya secara tertulis.


Pasal 34
(1)   Arbiter   yang   bersedia   untuk   ditunjuk   sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  33  ayat  (8)  membuat  perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih.
(2)   Perjanjian   penunjukan   arbiter    sebagaimana   dimaksud dalam   ayat    (1)   sekurang-kurangnya    memuat   hal-hal sebagai berikut :
a.    nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisihdan arbiter;
b.    pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihandan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikandan diambilkeputusan;
c.    biayaarbitrasedan honorarium arbiter;
d.    pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase;
e.    tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dantanda tangan para pihak yang berselisihdan arbiter;
f.    pernyataan   arbiter   atau   para   arbiter   untuk   tidak melampaui    kewenangannya     dalam    penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan
g.    tidak  mempunyai  hubungan  keluarga   sedarah  atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih.
(3)   Perjanjian arbiter  sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya   dibuat  rangkap   3   (tiga),   masing- masing  pihak  dan  arbiter  mendapatkan   1  (satu)  yang mempunyaikekuatanhukum yang sama.
(4) Dalam …


(4)   Dalam halarbitrasedilakukan oleh beberapa arbiter, maka asli   dari   perjanjian   tersebut   diberikan   kepada   Ketua Majelis Arbiter.


Pasal 35
(1)   Dalam   hal    arbiter   telah   menerima   penunjukan    dan menandatangani  surat  perjanjian  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka yang bersangkutan tidak dapat menarik diri,kecuali atas persetujuan para pihak.
(2)   Arbiter  yang  akan  menarik  diri  sebagaimana  dimaksud dalam  ayat  (1),  harus  mengajukan  permohonan   secara tertulis kepada para pihak.
(3)   Dalam   hal  para  pihak  dapat  menyetujui  permohonan penarikan  diri  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2), maka  yang  bersangkutan  dapat  dibebaskan  dari  tugas sebagai arbiter dalampenyelesaiankasus tersebut.
(4)   Dalam  hal  permohonan  penarikan  diri  tidak  mendapat persetujuan    para    pihak,    arbiter    harus    mengajukan permohonan pada Pengadilan Hubungan Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan alasan yang dapatditerima.


Pasal 36
(1)   Dalam   hal    arbiter   tunggal   mengundurkan    diri   atau
meninggal dunia, maka para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati oleh keduabelahpihak.
(2)   Dalam    hal    arbiter    yang    dipilih    oleh    para    pihak mengundurkan    diri,     atau    meninggal    dunia,    maka penunjukan  arbiter  pengganti  diserahkan  kepada  pihak yang memilih arbiter.
(3)   Dalam  hal  arbiter  ketiga  yang  dipilih  oleh  para  arbiter mengundurkan  diri  atau  meninggal  dunia,  maka  para arbiter  harus  menunjuk  arbiter  pengganti  berdasarkan kesepakatan para arbiter.
(4)   Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksuddalam ayat  (1),  ayat  (2),  dan  ayat  (3)  harus  sudah  mencapai kesepakatan  menunjuk  arbiter  pengganti  dalam  waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) harikerja.
(5)   Apabila   para   pihak   atau   para    arbiter   sebagaimana dimaksud  dalam  ayat  (4)  tidak  mencapai  kesepakatan, maka para pihak atau  salah  satu pihak  atau   salah  satu arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada Pengadilan Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti dan Pengadilan harus menetapkan arbiter penggantidalam waktu   selambat-lambatnya   7   (tujuh)  hari  kerja   sejak tanggalditerimanya permintaan penggantian arbiter.


Pasal 37
Arbiter pengganti sebagaimana dimaksuddalam Pasal 36 harus
membuat  pernyataan  kesediaan  menerima  hasil-hasil  yang telahdicapaidan melanjutkan penyelesaian perkara.


Pasal 38
(1)   Arbiter yang  telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrasedapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
(2)   Tuntutan   ingkar   terhadap   seorang   arbiter   dapat   pula diajukan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
(3)   Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkartidak dapat diajukan perlawanan.


Pasal 39
(1)   Hak  ingkar  terhadap  arbiter  yang  diangkat  oleh  Ketua
Pengadilan   ditujukan   kepada   Ketua   Pengadilan   yang bersangkutan.
(2)   Hak   ingkar   terhadap   arbiter   tunggal   yang   disepakati diajukan kepada arbiter yang bersangkutan.
(3)   Hak    ingkar   terhadap    anggota    majelis    arbiter   yang disepakati    diajukan    kepada    majelis    arbiter    yang bersangkutan.


Pasal 40
(1)   Arbiter    wajib   menyelesaikan   perselisihan   hubungan
industrial   dalam   waktu    selambat-lambatnya   30   (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
(2)   Pemeriksaan atas perselisihan harusdimulaidalam waktu selambat-lambatnya  3  (tiga)  hari kerja  setelah  penanda- tanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
(3)   Atas  kesepakatan  para  pihak,  arbiter  berwenang  untuk memperpanjang jangka  waktu  penyelesaian  perselisihan hubungan industrial  1 (satu) kali perpanjangan selambat- lambatnya 14 (empat belas) harikerja.


Pasal 41
Pemeriksaan perselisihanhubungan industrial oleh arbiter atau majelis  arbiter  dilakukan  secara  tertutup  kecuali  para  pihak yang berselisih menghendakilain.


Pasal 42
Dalam  sidang  arbitrase,  para  pihak  yang  berselisih  dapat
diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasakhusus.


Pasal 43
(1)  Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya   tanpa   suatu   alasan   yang    sah   tidak   hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter  dan  tugas  arbiter  atau  majelis  arbiter  dianggap selesai.
(2)  Apabila  pada  hari  sidang  pertama  dan  sidang-sidang selanjutnya  salah  satu  pihak  atau  kuasanya  tanpa  suatu alasan  yang  sah  tidak  hadir  walaupun  untuk  itu  telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa  perkara  dan  menjatuhkan  putusannya  tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
(3)  Dalam  hal  terdapat  biaya  yang  dikeluarkan  berkaitan dengan perjanjian penunjukan arbiter sebelum  perjanjian tersebut   dibatalkan   oleh   arbiter   atau   majelis    arbiter sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1),  biaya  tersebut tidak dapat diminta kembali oleh para pihak.


Pasal 44
(1)   Penyelesaian perselisihanhubungan industrial oleh arbiter harus  diawali  dengan  upaya  mendamaikan  kedua  belah pihak yang berselisih.
(2)   Apabila    perdamaian     sebagaimana    dimaksud    dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisihdan arbiter atau majelis arbiter.
(3)   Akta  Perdamaian  sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan   di   Pengadilan   Hubungan   Industrial   pada Pengadilan   Negeri    di   wilayah    arbiter   mengadakan perdamaian.
(4)   Pendaftaran   Akta   Perdamaian   sebagaimana   dimaksud dalamayat (3) dilakukansebagai berikut :
a.   Akta  Perdamaian yang telah  didaftar  diberikan  akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkandari Akta Perdamaian;
b.   apabila  Akta  Perdamaian     tidak  dilaksanakan  oleh salah  satu  pihak,  maka  pihak  yang  dirugikan  dapat mengajukan permohonaneksekusikepada Pengadilan Hubungan   Industrial   pada   Pengadilan   Negeri   di wilayah  Akta  Perdamaian  didaftar  untuk  mendapat penetapan eksekusi;
c.    dalam  hal  pemohon   eksekusi  berdomisili   di   luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan     Negeri     tempat     pendaftaran     Akta Perdamaian,     maka      pemohon     eksekusi     dapat mengajukan permohonaneksekusi melalui Pengadilan Hubungan   Industrial   pada   Pengadilan   Negeri   di wilayah domisilipemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
(5)   Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat  (1)  gagal,  arbiter  atau  majelis  arbiter  meneruskan sidang arbitrase.


Pasal 45
(1)   Dalam persidanganarbitrase para pihak diberikesempatan untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing  serta  mengajukan  bukti  yang  dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter.
(2)   Arbiter atau majelis  arbiter berhak meminta kepada para pihak  untuk  mengajukan  penjelasan  tambahan   secara tertulis, dokumen atau buktilainnya yang dianggap perlu dalam jangka  waktu  yang  ditentukan  oleh  arbiter  atau majelis arbiter.


Pasal 46
(1)   Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebihuntuk didengar keterangannya.
(2)   Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib  mengucapkan  sumpah  atau  janji   sesuai   dengan agama dankepercayaan masing-masing.
(3)   Biaya   pemanggilan   dan   perjalanan   rohaniawan   untuk melaksanakan  pengambilan  sumpah  atau  janji  terhadap saksi  atau   saksi   ahli   dibebankan  kepada  pihak  yang meminta.
(4)   Biaya  pemanggilan  dan  perjalanan  saksi  atau  saksi  ahli dibebankan kepadapihak yang meminta.
(5)   Biaya  pemanggilan  dan  perjalanan  saksi  atau  saksi  ahli
yang diminta oleh arbiter dibebankan kepada para pihak.


Pasal 47
(1)   Barangsiapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau
majelis  arbiter  guna  penyelidikan  untuk  penyelesaian perselisihan  hubungan   industrial  berdasarkan  undang- undang iniwajib memberikannya, termasuk membukakan bukudan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2)   Dalam halketerangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka harusditempuh prosedur sebagaimana diaturdalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)   Arbiter   wajib   merahasiakan    semua   keterangan   yang
diminta sebagaimana dimaksuddalamayat (1).


Pasal 48
Terhadap  kegiatan  dalam  pemeriksaan  dan  sidang  arbitrase
dibuat  berita  acara  pemeriksaan  oleh  arbiter  atau  majelis
arbiter.


Pasal 49
Putusan  sidang  arbitrase  ditetapkan  berdasarkan  peraturan perundang-undangan   yang   berlaku,   perjanjian,    kebiasaan, keadilandan kepentingan umum.


Pasal 50
(1)   Putusan arbitrase memuat :
a.    kepala  putusan  yang  berbunyi   "DEMI  KEADILAN BERDASARKAN   KETUHANAN   YANG    MAHA ESA";
b.    nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c.    nama lengkap dan alamat para pihak;
d.    hal-hal  yang    termuat    dalam    surat  perjanjian  yang diajukan oleh para pihak yang berselisih;
e.    ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan   lebih lanjut para pihak yang berselisih;
f.     pertimbanganyang menjadidasar putusan; g.    pokok putusan;
h.    tempat dan tanggal putusan;     i.     mulaiberlakunya putusan; dan
j.     tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
(2)   Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter  dengan   alasan  sakit  atau  meninggal  dunia  tidak mempengaruhikekuatan berlakunya putusan.
(3)   Alasan  tentang  tidak   adanya  tanda  tangan   sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) harusdicantumkandalam putusan.
(4)    Dalam putusan,ditetapkanselambat-lambatnya 14 (empat belas) harikerjaharus sudahdilaksanakan.


Pasal 51
(1)  Putusan   arbitrase    mempunyai   kekuatan   hukum   yang mengikat   para   pihak   yang  berselisih   dan   merupakan putusanyang bersifatakhir dantetap.
(2)  Putusan  arbitrase  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) didaftarkan   di    Pengadilan    Hubungan   Industrial    pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan.
(3)  Dalam hal putusan arbitrase sebagaimanadimaksuddalam ayat  (1)  tidak  dilaksanakan  oleh  salah  satu pihak,  maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi    di     Pengadilan    Hubungan     Industrial    pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan   pihak   terhadap    siapa   putusan   itu   harus dijalankan, agar putusandiperintahkanuntuk dijalankan.
(4)  Perintah  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (3)  harus diberikan   dalam   waktu    selambat-lambatnya   30    (tiga puluh) hari kerja  setelah permohonan   didaftarkan pada Panitera   Pengadilan   Negeri   setempat   dengan   tidak memeriksa    alasan    atau    pertimbangan    dari    putusan
arbitrase.


Pasal 52
(1)  Terhadap   putusan   arbitrase,    salah   satu   pihak    dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari  kerja  sejak  ditetapkannya  putusan  arbiter,  apabila
putusan diduga mengandung unsur-unsur sebagai   berikut :
a.    surat      atau     dokumen      yang     diajukan      dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b.    setelah  putusan   diambil  ditemukan  dokumen  yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c.    putusan  diambil  dari  tipu  muslihat  yang  dilakukan oleh salah satu pihak dalampemeriksaan perselisihan;
d.   putusan   melampaui    kekuasaan    arbiter   hubungan industrial; atau
e.    putusan  bertentangan   dengan  peraturan  perundang- undangan.
(2)  Dalam hal permohonansebagaimana dimaksuddalam ayat
(1) dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan   baik    seluruhnya    atau    sebagian   putusan arbitrase.
(3)  Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (1)   dalam   waktu selambat-lambatnya  30  (tiga  puluh)  hari  kerja  terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.


Pasal 53
Perselisihan   hubungan   industrial   yang   sedang   atau   telah
diselesaikan   melalui   arbitrase   tidak   dapat   diajukan   ke Pengadilan Hubungan Industrial.


Pasal 54
Arbiter  atau  majelis  arbiter  tidak  dapat  dikenakan  tanggung
jawab hukum apapun atas segalatindakan yang diambilselama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidakbaik daritindakan tersebut.
BAB III
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu Umum


Pasal 55
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilankhusus yang berada pada lingkungan peradilan umum.


Pasal 56
Pengadilan   Hubungan   Industrial   bertugas   dan   berwenang memeriksa dan memutus :
a.     di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b.     di tingkat pertama danterakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c.     di tingkat pertama mengenai perselisihanpemutusan hubungankerja;
d.     di  tingkat  pertama   dan  terakhir  mengenai  perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruhdalam satu perusahaan.


Pasal 57
Hukum   acara   yang   berlaku   pada   Pengadilan   Hubungan Industrial  adalah  Hukum  Acara  Perdata  yang  berlaku  pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khususdalam undang-undang ini.


Pasal 58
Dalam proses beracaradi Pengadilan Hubungan        Industrial, pihak-pihak yang berperkaratidak dikenakan    biaya termasuk biaya    eksekusi    yang    nilai    gugatannya    di    bawah    Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).


Pasal 59
(1)   Untuk  pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan  Hubungan  Industrial  pada  setiap  Pengadilan Negeri  Kabupaten/Kota  yang  berada  di   setiap  Ibukota Propinsi yang  daerah hukumnya meliputi propinsi yang bersangkutan.
(2)   Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan  Presiden  harus  segera  dibentuk  Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.


Pasal 60
(1)  Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari :
a.    Hakim;
b.    Hakim Ad-Hoc;
c.    Panitera Muda; dan d.    Panitera Pengganti.
(2)  Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah
Agung terdiri dari :
a.    Hakim Agung;
b.    Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c.    Panitera.
Bagian Kedua
Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Hakim Kasasi  Pasal 61
Hakim   Pengadilan   Hubungan   Industrial   pada   Pengadilan Negeri  diangkat  dan  diberhentikan  berdasarkan  Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 62
Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilaksanakan  sesuai  dengan  peraturan  perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 63
(1)   Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan Keputusan Presiden  atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2)   Calon   Hakim   Ad-Hoc   sebagaimana   dimaksud   dalam ayat (1) diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang     disetujui     oleh     Menteri     atas     usul     serikat pekerja/serikat buruh atau organisasipengusaha.
(3)   Ketua   Mahkamah  Agung  mengusulkan  pemberhentian Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial kepada Presiden.


Pasal 64
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan  Industrial  dan  Hakim  Ad-Hoc  pada   Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.     warga negara Indonesia;
b.    bertaqwakepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.     setiakepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.    berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
e.     berbadan sehatsesuaidengan keterangan dokter;
f.     berwibawa, jujur,adil, dan berkelakuantidak tercela;
g.    berpendidikan   serendah-rendahnya    Strata    Satu    (S-1) kecuali  bagi  Hakim  Ad-Hoc  pada  Mahkamah  Agung syarat pendidikanSarjanaHukum; dan
h.    berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.


Pasal 65
(1)  Sebelum     memangku    jabatannya,     Hakim     Ad-Hoc Pengadilan   Hubungan   Industrial   wajib   mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya, bunyi  sumpah  atau janji itu adalah  sebagai berikut :
“  Saya    bersumpah/berjanji    dengan    sungguh-sungguh bahwa  saya    untuk    memperoleh   jabatan  saya  ini, langsung  atau  tidak   langsung,  dengan  menggunakan nama  atau  cara  apapun  juga,  tidak  memberikan  atau menjanjikanbarang sesuatu kepadasiapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidaklangsung darisiapapun juga suatu janji atau pemberian.
Sayabersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan     akan     mempertahankan     serta     mengamalkan Pancasila   sebagai   pandangan   hidup   bangsa,   dasar negara,  dan  ideologi  nasional,  Undang-Undang  Dasar Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  dan  segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.


Saya  bersumpah/berjanji  bahwa  saya  senantiasa  akan menjalankan jabatan saya ini denganjujur, seksama dan dengan     tidak      membedakan     orang      dan     akan melaksanakan   kewajiban    saya    sebaik-baiknya    dan seadil-adilnya     berdasarkan     peraturan     perundang- undangan yang berlaku.”
(2)  Hakim  Ad-Hoc  Pengadilan  Hubungan  Industrial  pada Pengadilan  Negeri  diambil  sumpah  atau  janjinya   oleh Ketua Pengadilan Negeri atau pejabat yang ditunjuk.


Pasal 66
(1)  Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatansebagai :
a.    anggota Lembaga Tinggi Negara; b.   kepaladaerah/kepala wilayah;
c.    lembaga legislatif tingkat daerah;
d.   pegawainegerisipil; e.    anggota TNI/Polri;
f.    pengurus partai politik;
g.   pengacara;   h.   mediator;     i.    konsiliator;  j.    arbiter; atau
k.   pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasipengusaha.
(2)  Dalam  hal   seorang  Hakim  Ad-Hoc  yang  merangkap jabatansebagaimana dimaksuddalam ayat (1),  jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc dapat dibatalkan.


Pasal 67
(1)  Hakim   Ad-Hoc   Pengadilan   Hubungan   Industrial   dan Hakim  Ad-Hoc  Hubungan  Industrial  pada  Mahkamah Agung   diberhentikan   dengan   hormat   dari   jabatannya
karena :
a.    meninggal dunia;    b.   permintaan sendiri;
c.    sakit  jasmani  atau  rohani  terus  menerus  selama   12 (duabelas) bulan;
d.   telah berumur 62 (enampuluh dua) tahunbagi Hakim Ad-Hoc  pada  Pengadilan  Hubungan  Industrial  dan telah  berumur  67  (enam  puluh  tujuh)  tahun  bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
e.    tidakcakapdalam menjalankan tugas;
f.    atas permintaan organisasipengusaha atau organisasi
pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan; atau g.    telah selesai masa tugasnya.
(2)   Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu  5 (lima) tahundandapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.


Pasal 68
(1)  Hakim     Ad-Hoc     Pengadilan     Hubungan      Industrial diberhentikantidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. dipidana …




a.    dipidana  karena  bersalah  melakukan  tindak  pidana kejahatan;
b.    selama 3 (tiga) kaliberturut-turut dalam kurun waktu 1    (satu)    bulan     melalaikan    kewajiban    dalam menjalankan  tugas pekerjaannya  tanpa  alasan  yang sah; atau
c.    melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2)  Pemberhentian   tidak    dengan    hormat   dengan    alasan sebagaimana dimaksud   dalam ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan kepada Mahkamah Agung.


Pasal 69
(1)  Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikantidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), dapat diberhentikan   sementara dari jabatannya.
(2)  Hakim  Ad-Hoc  yang  diberhentikan  sementara  sebagai- mana  dimaksud  dalam  ayat  (1),  berlaku  pula  ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 68 ayat (2).


Pasal 70
(1)  Pengangkatan   Hakim   Ad-Hoc   Pengadilan   Hubungan Industrial  dilakukan  dengan  memperhatikan  kebutuhan dan sumber daya yang  tersedia.
(2)  Untuk  pertama  kalinya  pengangkatan  Hakim  Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur serikat pekerja/ serikat  buruh  dan  5  (lima)  orang  dari  unsur  organisasi pengusaha.


Pasal 71
(1)  Ketua Pengadilan   Negeri    melakukan  pengawasan atas pelaksanaan  tugas  Hakim,     Hakim   Ad-Hoc,   Panitera Muda,   dan   Panitera   Pengganti  Pengadilan  Hubungan Industrial    pada    Pengadilan    Negeri     sesuai    dengan kewenangannya.
(2)  Ketua  Mahkamah  Agung  melakukan  pengawasan  atas pelaksanaan  tugas   Hakim  Kasasi,   Panitera  Muda,   dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung sesuaidengan kewenangannya.
(3)  Dalam  melakukan  pengawasan  sebagaimana  dimaksud dalam    ayat    (1),    Ketua    Pengadilan    Negeri     dapat memberikan  petunjuk  dan  teguran  kepada  Hakim   dan Hakim  Ad-Hoc.
(4)  Dalam  melakukan  pengawasan  sebagaimana  dimaksud dalam    ayat    (2),    Ketua    Mahkamah    Agung     dapat memberikan petunjuk danteguran kepada Hakim Kasasi.
(5)  Petunjuk danteguran sebagaimana dimaksuddalam    ayat (3)  dan  ayat   (4)  tidak  boleh  mengurangi  kebebasan Hakim,  Hakim  Ad-Hoc  dan  Hakim  Kasasi  Pengadilan Hubungan   Industrial   dalam   memeriksa   dan   memutus perselisihan.


Pasal 72
Tata   cara   pengangkatan,   pemberhentian    dengan   hormat, pemberhentian    dengan    tidak  hormat,  dan  pemberhentian sementara  Hakim    Ad-Hoc     sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal   67, Pasal  68,  dan Pasal  69  diatur   dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 73
Tunjangan    dan    hak-hak    lainnya   bagi    Hakim   Ad-Hoc Pengadilan  Hubungan  Industrial  diatur  dengan  Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti


Pasal 74
(1)  Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan     Industrial     dibentuk      Sub     Kepaniteraan Pengadilan   Hubungan   Industrial   yang   dipimpin   oleh seorang  Panitera Muda.
(2)  Dalam  melaksanakan  tugasnya,  Panitera  Muda  sebagai- mana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dibantu  oleh  beberapa orang Panitera Pengganti.


Pasal 75
(1)  Sub Kepaniteraansebagaimana dimaksud  dalam Pasal 74 ayat (1) mempunyai  tugas :
a.   menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial; dan
b.  membuat   daftar   semua  perselisihan   yang   diterima dalambukuperkara.
(2)  Buku  perkara  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) hurufb, sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak, dan jenis perselisihan.


Pasal 76
Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian  surat panggilan  sidang,  penyampaian  pemberitahuan  putusan  dan penyampaian salinan putusan.


Pasal 77
(1)  Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dari   Pegawai Negeri  Sipil  dari  instansi  Pemerintah  yang  bertanggung jawabdi bidang ketenagakerjaan.
(2)  Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan   Hubungan   Industrial   diatur   lebih   lanjut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 78
Susunan  organisasi,  tugas,  dan  tata  kerja  Sub  Kepaniteraan Pengadilan  Hubungan  Industrial  diatur    dengan    Keputusan Ketua Mahkamah Agung.


Pasal 79
(1)  Panitera     Pengganti     bertugas     mencatat     jalannya persidangan dalam Berita Acara.
(2)  Berita  Acara   sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1), ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.


Pasal 80
(1)  Panitera Mudabertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat lainnya yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
(2)  Semua    buku    perkara    dan    surat-surat    sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) baik asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang kerja Sub Kepaniteraan kecuali atas izin  Panitera Muda.


BAB IV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


Bagian Kesatu
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim


Paragraf 1
Pengajuan Gugatan


Pasal 81
Gugatan  perselisihan  hubungan  industrial  diajukan  kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputitempat pekerja/buruhbekerja.


Pasal 82
Gugatan  oleh  pekerja/buruh  atas  pemutusan  hubungan  kerja sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   159   dan   Pasal    171 Undang-undang      Nomor      13      Tahun      2003      tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu)    tahun     sejak    diterimanya     atau    diberitahukannya
keputusan daripihak pengusaha.


Pasal 83
(1)   Pengajuan     gugatan     yang     tidak     dilampiri     risalah
penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan  Hubungan  Industrial  wajib  mengembalikan gugatankepada pengugat.
(2) Hakim …


(2)   Hakim   berkewajiban  memeriksa  isi  gugatan  dan  bila terdapat  kekurangan,  hakim   meminta  penggugat   untuk menyempurnakan gugatannya.
Pasal 84
Gugatan  yang  melibatkan   lebih  dari  satu  penggugat   dapat
diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasakhusus.


Pasal 85
(1)  Penggugat  dapat  sewaktu-waktu  mencabut  gugatannya sebelumtergugat memberikan jawaban.
(2)  Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh   Pengadilan   Hubungan   Industrial   hanya   apabila
disetujuitergugat.


Pasal 86
Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja,     maka Pengadilan   Hubungan   Industrial   wajib    memutus   terlebih dahulu    perkara    perselisihan     hak    dan/atau    perselisihan
kepentingan.


Pasal 87
Serikat  pekerja/serikat buruh dan organisasipengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.


Pasal 88
(1)   Ketua    Pengadilan    Negeri     dalam    waktu    selambat- lambatnya 7 (tujuh) harikerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu)  orang  Hakim  sebagai  Ketua  Majelis  dan  2  (dua) orang  Hakim  Ad-Hoc  sebagai  Anggota  Majelis  yang memeriksa dan memutus perselisihan.
(2)   Hakim  Ad-Hoc  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) terdiri atas  seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatan- nya  diusulkan  oleh   serikat  pekerja/serikat  buruh  dan seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (2).
(3)   Untuk   membantu   tugas   Majelis   Hakim   sebagaimana dimaksud   dalam   ayat   (1)   ditunjuk   seorang   Panitera Pengganti.


Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa


Pasal 89
(1)  Dalam  waktu   selambat-lambatnya  7  (tujuh)  hari  kerja sejak  penetapan  Majelis     Hakim,  maka  Ketua  Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang pertama.
(2)  Pemanggilan untuk datang kesidang dilakukan secara sah apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak  di  alamat  tempat  tinggalnya  atau  apabila  tempat tinggalnya    tidak    diketahui    disampaikan    di    tempat kediaman  terakhir.
(3)  Apabila   pihak   yang   dipanggil   tidak    ada   di   tempat tinggalnya  atau  tempat  tinggal  kediaman  terakhir,  surat panggilan  disampaikan  melalui  Kepala  Kelurahan  atau Kepala  Desa  yang  daerah  hukumnya  meliputi     tempat tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.
(4)  Penerimaan  surat  penggilan  oleh  pihak  yang  dipanggil sendiri atau melalui orang lain   dilakukan  dengan  tanda penerimaan.
(5)  Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman  terakhir tidak  dikenal,  maka  surat  panggilan  ditempelkan  pada tempat  pengumuman   di  gedung  Pengadilan  Hubungan Industrial yang memeriksanya.


Pasal 90
(1)  Majelis  Hakim  dapat  memanggil   saksi  atau   saksi  ahli untuk  hadir  di  persidangan  guna  diminta  dan  didengar keterangannya.
(2)  Setiap  orang  yang  dipanggil  untuk  menjadi  saksi  atau saksi  ahli berkewajiban untuk memenuhi panggilan  dan memberikan kesaksiannyadibawah sumpah.


Pasal 91
(1)   Barang  siapa  yang  diminta  keterangannya  oleh  Majelis Hakim guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannyatanpa syarat, termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2)   Dalam halketerangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka harus  ditempuh prosedur  sebagaimana diaturdalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)   Hakim   wajib   merahasiakan    semua   keterangan    yang diminta sebagaimana dimaksuddalamayat (1).


Pasal 92
Sidang    sah    apabila    dilakukan    oleh    Majelis    Hakim sebagaimana dimaksuddalam Pasal 88 ayat (1).


Pasal 93
(1)   Dalam  hal  salah  satu pihak  atau para pihak tidak dapat menghadirisidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari sidang berikutnya.
(2)   Hari   sidang   berikutnya   sebagaimana  dimaksud  dalam ayat  (1)  ditetapkan  dalam  waktu  selambat-lambatnya  7 (tujuh) harikerjaterhitung sejak tanggal penundaan.
(3)   Penundaan  sidang  karena ketidakhadiran  salah  satu  atau para  pihak  diberikan  sebanyak-banyaknya  2  (dua)  kali penundaan.


Pasal 94
(1)   Dalam  hal  penggugat  atau  kuasa  hukumnya  yang   sah setelah  dipanggil  secara  patut  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi  penggugat  berhak  mengajukan  gugatannya  sekali lagi.
(2)   Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksuddalam Pasal 89  tidak   datang  menghadap   Pengadilan  pada   sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksuddalam Pasal 93 ayat  (3),     maka  Majelis  Hakim  dapat  memeriksa  dan memutus perselisihan tanpadihadiritergugat.


Pasal 95
(1)  Sidang  Majelis  Hakim  terbuka  untuk  umum,  kecuali Majelis Hakim menetapkan lain.
(2)  Setiap   orang    yang   hadir    dalam   persidangan   wajib menghormati tata tertib persidangan.
(3)  Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas perintah Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.


Pasal 96
(1)  Apabila  dalam  persidangan  pertama,  secara  nyata-nyata pihak      pengusaha      terbukti       tidak      melaksanakan kewajibannya  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal   155 ayat (3) Undang-undang Nomor  13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,   Hakim   Ketua   Sidang   harus    segera menjatuhkan   Putusan   Sela   berupa   perintah   kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasaditerima pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2)  Putusan Selasebagaimana dimaksuddalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itujuga atau pada hari persidangan kedua.
(3)  Dalam    hal     selama    pemeriksaan     sengketa    masih berlangsung  dan  Putusan  Sela  sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuahPenetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4)  Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan Penetapan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.


Pasal 97
Dalam  putusan  Pengadilan  Hubungan  Industrial  ditetapkan kewajiban  yang  harus   dilakukan  dan/atau  hak  yang  harus diterima  oleh  para  pihak  atau  salah  satu  pihak  atas  setiap penyelesaian perselisihanhubungan industrial.


Paragraf 3
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat


Pasal 98
(1)  Apabila  terdapat  kepentingan  para  pihak  dan/atau  salah satu  pihak  yang   cukup   mendesak   yang   harus   dapat disimpulkan  dari  alasan-alasan  permohonan  dari  yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohonkepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketadipercepat.
(2)  Dalam   jangka   waktu    7   (tujuh)   hari   kerja   setelah diterimanya  permohonan  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat    (1),    Ketua    Pengadilan    Negeri     mengeluarkan penetapan  tentang  dikabulkan  atau  tidak  dikabulkannya permohonan tersebut.
(3)  Terhadap penetapan sebagaimana dimaksuddalam      ayat
(2) tidak dapat digunakan upaya hukum.


Pasal 99
(1)  Dalam  hal  permohonan  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal  98  ayat  (1)  dikabulkan,  Ketua  Pengadilan  Negeri dalam   jangka    waktu    7    (tujuh)   hari   kerja   setelah dikeluarkannya penetapan  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal  98  ayat  (2),  menentukan  Majelis  Hakim,  hari, tempat,   dan   waktu   sidang   tanpa   melalui   prosedur pemeriksaan.
(2)  Tenggang  waktu  untuk jawaban  dan  pembuktian  kedua belah pihak, masing-masing ditentukantidak melebihi 14 (empat belas) harikerja.
Paragraf 4
Pengambilan Putusan


Pasal 100
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbang- kan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dankeadilan.


Pasal 101
(1)  Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2)  Dalam  hal  salah  satu  pihak  tidak  hadir  dalam   sidang sebagaimana dimaksud   dalam ayat (1),   Ketua  Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepadapihak yang tidak hadir tersebut.




(3)  Putusan  Majelis  Hakim  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat (1) sebagai putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4)  Tidak   dipenuhinya   ketentuan    sebagaimana   dimaksud dalam ayat (1) berakibat putusan Pengadilantidak sah dan tidakmempunyaikekuatanhukum.


Pasal 102
(1)  Putusan Pengadilan harus memuat :
a.  kepala    putusan     berbunyi:     “DEMI    KEADILAN BERDASARKAN   KETUHANAN    YANG   MAHA ESA”;
b.  nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
c.  ringkasan pemohon/penggugat danjawaban termohon/ tergugat yang jelas;
d.  pertimbangan  terhadap  setiap  bukti  dan  data  yang diajukan  hal  yang  terjadi  dalam  persidangan  selama sengketaitu diperiksa;
e.   alasanhukum yang menjadidasar putusan; f.   amar putusan tentang sengketa;
g.  hari,  tanggal  putusan,  nama  Hakim,  Hakim  Ad-Hoc yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidakhadirnya para pihak.
(2)  Tidak   dipenuhinya   salah   satu   ketentuan   sebagaimana dimaksud  dalam  ayat  (1)  dapat  menyebabkan  batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.


Pasal 103
Majelis   Hakim   wajib    memberikan   putusan   penyelesaian
perselisihan   hubungan   industrial   dalam   waktu    selambat- lambatnya  50  (lima puluh) hari  kerja terhitung  sejak  sidang pertama.


Pasal 104
Putusan    Pengadilan     Hubungan     Industrial     sebagaimana dimaksuddalam Pasal 103 ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.


Pasal 105
Panitera  Pengganti  Pengadilan  Hubungan  Industrial  dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) harikerja setelah putusan Majelis   Hakim   dibacakan,   harus    sudah   menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksuddalam Pasal 101 ayat (2).


Pasal 106
Selambat-lambatnya   14   (empat   belas)   hari   kerja    setelah putusan     ditandatangani,    Panitera    Muda    harus     sudah menerbitkan salinan putusan.


Pasal 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada para pihak.


Pasal 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat
mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi.


Pasal 109       
Putusan  Pengadilan  Hubungan  Industrial        pada  Pengadilan
Negeri  mengenai  perselisihan  kepentingan        dan  perselisihan
antar  serikat  pekerja/serikat  buruh  dalam        satu  perusahaan
merupakan putusan akhirdan bersifat tetap.       


Pasal 110
Putusan  Pengadilan  Hubungan  Industrial  pada  Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan  kerja  mempunyai  kekuatan  hukum  tetap  apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalamwaktuselambat-lambatnya 14 (empat belas) harikerja :
a.     bagipihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalamsidang majelis hakim;
b.    bagi  pihak  yang  tidak  hadir,  terhitung  sejak  tanggal menerima pemberitahuan putusan.


Pasal 111
Salah  satu  pihak  atau  para  pihak  yang  hendak  mengajukan permohonan  kasasi     harus  menyampaikan   secara   tertulis melalui  Sub  Kepaniteraan  Pengadilan  Hubungan  Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.


Pasal 112
Sub   Kepaniteraan   Pengadilan   Hubungan   Industrial   pada Pengadilan   Negeri   dalam   waktu    selambat-lambatnya   14 (empat belas) hari kerja terhitung  sejak  tanggal  penerimaan permohonankasasiharus sudah menyampaikan berkasperkara kepada Ketua Mahkamah Agung.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi  


Pasal 113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua  orang  Hakim  Ad-Hoc  yang  ditugasi  memeriksa  dan
mengadili   perkara   perselisihan   hubungan   industrial   pada Mahkamah  Agung  yang  ditetapkan  oleh  Ketua  Mahkamah Agung.


Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi  serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi   dilaksanakan   sesuai   dengan   peraturan   perundang- undangan yang berlaku.


Pasal 115
Penyelesaian  perselisihan  hak  atau  perselisihan  pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung  selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) harikerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonankasasi.


BAB V
SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN PIDANA
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif


Pasal 116
(1)   Mediator  yang  tidak   dapat  menyelesaikan  perselisihan hubungan industrial dalamwaktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) harikerja tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud   dalam   Pasal    15    dapat    dikenakan   sanksi
administratif  berupa  hukuman   disiplin   sesuai   dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.
(2)   Panitera  Muda  yang  tidak  menerbitkan  salinan  putusan dalam waktu  selambat-lambatnya  14  (empat  belas)  hari kerja    setelah    putusan     ditandatangani     sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal   106   dan   Panitera   yang   tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7 (tujuh) harikerjasebagaimana dimaksuddalam Pasal 107 dapat   dikenakan    sanksi   administratif   sesuai    dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 117
(1)   Konsiliator  yang  tidak  menyampaikan   anjuran  tertulis dalam waktu  selambat-lambatnya  14  (empat  belas)  hari kerjasebagaimana dimaksuddalam Pasal 23 ayat (2) butir b  atau  tidak  membantu  para  pihak  membuat  Perjanjian Bersama  dalam  waktu  selambat-lambatnya  3  (tiga)  hari kerja  sebagaimana  dimaksud  dalam    Pasal  23  ayat  (2) huruf  e   dapat   dikenakan   sanksi   administratif  berupa tegurantertulis.
(2)   Konsiliator   yang   telah   mendapatkan   teguran   tertulis sebanyak  3  (tiga)  kali  sebagaimana  dimaksud  dalam ayat  (1),  dapat  dikenakan  sanksi  administratif  berupa pencabutan sementara sebagaikonsiliator.
(3)   Sanksi  sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan   setelah   yang   bersangkutan   menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.


(4)   Sanksi    administratif    pencabutan    sementara     sebagai konsiliator diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.


Pasal 118
Konsiliator   dapat    dikenakan   sanksi    administratif   berupa pencabutan tetap sebagaikonsiliatordalam hal :
a.    konsiliator   telah   dijatuhi    sanksi   administratif   berupa pencabutan  sementara  sebagai  konsiliator  sebagaimana dimaksuddalam Pasal 117 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali;
b.    terbukti melakukantindak pidana kejahatan;
c.    menyalahgunakan jabatan; dan/atau
d.    membocorkan   keterangan   yang    diminta   sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 22 ayat (3).


Pasal 119
(1)   Arbiter   yang   tidak   dapat   menyelesaikan   perselisihan hubungan industrial dalam waktu  selambat-lambatnya 30 (tiga   puluh)   hari   kerja   dan   dalam   jangka    waktu perpanjangansebagaimana dimaksuddalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaansebagaimana dimaksuddalam Pasal 48,dapat dikenakan sanksiadministratif berupateguran tertulis.
(2)   Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dapat  dikenakan sanksiadministratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter.
(3)   Sanksi   sebagaimana   yang   dimaksud   dalam   ayat   (2), baru    dapat    dijatuhkan    setelah    yang    bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedangditanganinya.
(4)   Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan untuk jangkawaktu paling lama 3 (tiga) bulan.


Pasal 120
(1)  Arbiter   dapat   dikenakan   sanksi   administratif   berupa
pencabutan tetap sebagai arbiter dalam hal :
a.    arbiter  paling  sedikit  telah  3  (tiga)  kali  mengambil keputusan  arbitrase perselisihan  hubungan  industrial melampaui kekuasaannya, bertentangan  dengan  per- aturan  perundang-undangan  sebagaimana  dimaksud dalam  Pasal  52  ayat  (1)    huruf    d    dan    e    dan Mahkamah  Agung  telah  mengabulkan  permohonan peninjauan   kembali    atas   putusan-putusan    arbiter tersebut;
b.    terbukti melakukantindak pidana kejahatan;
c.    menyalahgunakan jabatan;
d.    arbiter   telah   dijatuhi   sanksi   administratif   berupa pencabutan  sementara  sebagai  arbiter  sebagaimana dimaksuddalam Pasal 119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali.


(2)  Sanksi   administratif  berupa   pencabutan   tetap   sebagai arbiter   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (1)   mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan perselisihan yang sedangditanganinya.


Pasal 121
(1)   Sanksi  administratif sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal
117, Pasal  118, Pasal  119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2)   Tata  cara  pemberian  dan  pencabutan  sanksi  akan  diatur lebihlanjut dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana


Pasal 122
(1)   Barang   siapa   yang   melanggar  ketentuan   sebagaimana dimaksuddalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1)      dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 90    ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan    paling lama 6 (enam)    bulan    dan/atau    denda    paling    sedikit    Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2)   Perbuatan    sebagaimana    dimaksud    dalam    ayat    (1) merupakantindak pidanapelanggaran.


BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN


Pasal 123
Dalam halterjadi perselisihanhubungan industrial padausaha- usaha   sosial   dan   usaha-usaha   lain   yang   tidak   berbentuk perusahaan  tetapi  mempunyai  pengurus  dan  mempekerjakan orang  lain  dengan  membayar  upah,  maka  perselisihannya diselesaikansesuaidengan ketentuan undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 124
(1)  Sebelum   terbentuk   Pengadilan   Hubungan   Industrial sebagaimana    dimaksud    dalam    Pasal    59,    Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerahdan Panitia Penyelesaian    Perselisihan    Perburuhan    Pusat    tetap melaksanakan    fungsi    dan    tugasnya    sesuai     dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)  Dengan  terbentuknya  Pengadilan  Hubungan  Industrial berdasarkan  undang-undang  ini,  perselisihan   hubungan industrial  dan  pemutusan  hubungan  kerja  yang  telah diajukan kepada :
a.    Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau   lembaga-lembaga   lain   yang   setingkat   yang
menyelesaikan perselisihan  hubungan industrial atau  pemutusan …
pemutusan  hubungan  kerja   dan  belum  diputuskan, maka    diselesaikan     oleh    Pengadilan    Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat;
b.     Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah   atau   lembaga-lembaga   lain   sebagaimana dimaksud  pada  huruf  a  yang  ditolak  dan  diajukan banding  oleh  salah  satu  pihak  atau  para  pihak  dan
putusan   tersebut   diterima   masih   dalam   tenggang waktu  14 (empat belas) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
c.     Panitia  Penyelesaian  Perselisihan  Perburuhan  Pusat atau   lembaga-lembaga   lain   yang   setingkat   yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial atau pemutusan  hubungan  kerja   dan  belum  diputuskan, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
d.     Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat    atau    lembaga-lembaga    lain    sebagaimana dimaksud pada   huruf c yang  ditolak  dan  diajukan banding  oleh  salah  satu  pihak  atau  para  pihak  dan putusan   tersebut   diterima   masih   dalam   tenggang waktu  90  (sembilan  puluh)  hari,  maka  diselesaikan
oleh Mahkamah Agung.


BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 125
(1)  Dengan berlakunya undang-undang ini, maka :
a.    Undang-undang   Nomor    22   Tahun    1957   tentang Penyelesaian   Perselisihan   Perburuhan   (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
b.    Undang-undang   Nomor    12   Tahun    1964   tentang Pemutusan  Hubungan  Kerja  Di  Perusahaan  Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2686); dinyatakantidakberlakulagi.
(2)  Pada   saat   undang-undang   ini   mulai   berlaku,    semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara  Tahun   1957  Nomor   42,  Tambahan  Lembaran Negara  Nomor   1227)   dan  Undang-undang  Nomor   12 Tahun   1964   tentang   Pemutusan   Hubungan   Kerja   Di
Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tetap   berlaku    sepanjang    tidak   bertentangan    dengan ketentuan dalam undang-undang ini.


Pasal 126
Undang–undang  ini  mulai  berlaku   1   (satu)  tahun  setelah diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang   ini   dengan   penempatannya   dalam   Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.


MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkandi Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
SEKRETARIS NEGARA  REPUBLIK INDONESIA,
ttd.


BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 6


P E N J E L A S A N A T A S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR  2  TAHUN  2004
TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


I.      UMUM
Hubungan   Industrial,    yang   merupakan    keterkaitan   kepentingan    antara
pekerja/buruh    dengan    pengusaha,    berpotensi    menimbulkan    perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara keduabelahpihak.
Perselisihan   di bidang hubungan  industrial yang  selama  ini  dikenal  dapat
terjadi  mengenai  hak    yang    telah    ditetapkan,    atau  mengenai    keadaan ketenagakerjaan     yang   belum     ditetapkan   baik   dalam   perjanjian   kerja, peraturan perusahaan, perjanjiankerjabersama maupun peraturan   perundang- undangan.
Perselisihan  hubungan  industrial  dapat  pula  disebabkan  oleh  pemutusan hubungan kerja. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama inidiatur didalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan  Kerja  di  Perusahaan   Swasta,  ternyata  tidak  efektif  lagi  untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja. Hal ini   disebabkan   karena    hubungan   antara    pekerja/buruh   dan    pengusaha merupakan  hubungan  yang  didasari  oleh  kesepakatan  para  pihak  untuk mengikatkan diri dalam  suatu hubungan kerja. Dalam hal  salah  satu  pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihakuntuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh  karena itu perludicari jalan keluar yang  terbaik bagikedua


belah  pihak  untuk  menentukan  bentuk  penyelesaian,  sehingga  Pengadilan Hubungan  Industrial  yang  diatur  dalam  Undang-undang  ini  akan  dapat menyelesaikan   kasus-kasus  pemutusan hubungan kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak.


Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasidalam dunia industri yang diwujudkan  dengan  adanya  kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh, maka jumlah  serikat  pekerja/serikat  buruh  di  satu  perusahaan  tidak  dapat dibatasi. Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan ini dapat mengakibatkan perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh yang pada umumnya berkaitandengan masalah keanggotaan dan keterwakilan didalam perundingan pembuatan perjanjiankerjabersama.


Peraturan    perundang-undangan    yang     mengatur    tentang     penyelesaian perselisihan  hubungan  industrial  selama  ini  ternyata  belum  mewujudkan penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah.


Undang-undang   Nomor  22  Tahun  1957  tentang  Penyelesaian  Perselisihan Perburuhan yang  selama  ini  digunakan  sebagai  dasar  hukum  penyelesaian perselisihan   hubungan    industrial dirasa   tidak  dapat  lagi mengakomodasi perkembangan-perkembangan  yang  terjadi,  karena  hak-hak    pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial.


Undang-undang  Nomor  22  Tahun  1957  tentang  Penyelesaian  Perselisihan Perburuhan yang  selama  ini  digunakan  sebagai  dasar  hukum  penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak  dan  perselisihan  kepentingan  secara  kolektif,  sedangkan  penyelesaian perselisihan  hubungan  industrial  pekerja/buruh  secara  perseorangan  belum terakomodasi.


Hal  lainnya  yang  sangat  mendasar  adalah  dengan  ditetapkannya  putusan Panitia  Penyelesaian  Perselisihan  Perburuhan  Pusat  (P4P)   sebagai  obyek sengketa  Tata  Usaha  Negara,   sebagaimana  diatur  dalam  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baikoleh pihak pekerja/ buruh maupun oleh pengusahauntuk mencarikeadilan menjadi semakin panjang.


Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih  sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian bipartit inidilakukan melalui musyawarahmufakat oleh para pihak tanpadicampuri oleh pihak manapun.


Namun demikian, Pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat  khususnya  kepada  masyarakat  pekerja/buruh  dan  pengusaha, berkewajiban  memfasilitasi  penyelesaian   perselisihan  hubungan  industrial tersebut.  Upaya  fasilitasi  dilakukan  dengan  menyediakan  tenaga  mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih.
Dengan adanya era demokratisasidi segalabidang,  maka perludiakomodasi keterlibatan    masyarakat    dalam    menyelesaikan    perselisihan    hubungan industrial melaluikonsiliasi atau arbitrase.
Penyelesaian perselisihan melalui  arbitrase pada umumnya, telah  diatur  di dalam   Undang-undang   Nomor   30   Tahun   1999   tentang   Arbitrase   dan Alternatif   Penyelesaian    Sengketa    yang    berlaku    di    bidang    sengketa perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam undang-undang   ini   merupakan   pengaturan   khusus   bagi       penyelesaian sengketa  di bidang  hubungan industrial.


Dengan  pertimbangan-pertimbangan  dimaksud  di  atas,  undang-undang  ini
mengatur penyelesaian perselisihanhubungan industrial yang disebabkan oleh :
a.  perbedaan pendapat atau kepentingan mengenaikeadaan ketenagakerjaan yang belum diaturdalam perjanjiankerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerjabersama, atau peraturan perundang-undangan;
b.  kelalaian   atau   ketidakpatuhan   salah   satu   atau   para       pihak   dalam melaksanakan  ketentuan  normatif  yang  telah  diatur  dalam     perjanjian kerja,  peraturan  perusahaan,  perjanjian  kerja  bersama,  atau     peraturan perundang-undangan;
c.  pengakhiran  hubungan kerja;
d.  perbedaan   pendapat   antar   serikat   pekerja/serikat   buruh   dalam   satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajibankeserikat  pekerjaan.


Dengan   cakupan   materi   perselisihan   hubungan   industrial    sebagaimana dimaksud  di  atas,  maka  undang-undang  ini  memuat  pokok-pokok  sebagai berikut :
1.   Pengaturan  penyelesaian  perselisihan  hubungan  industrial  yang  terjadi baik di perusahaan swasta maupun perusahaandi lingkungan Badan Usaha Milik Negara.
2.   Pihak yang berperkara adalahpekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasiserikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha.  Pihak  yang  berperkara  dapat  juga   terjadi   antara   serikat pekerja/serikat buruhdengan serikat pekerja/serikat buruhlaindalam satu perusahaan.
3.   Setiapperselisihanhubungan industrial pada awalnya diselesaikan  secara musyawarahuntuk mufakatoleh para pihak yang berselisih (bipartit).
4.   Dalam hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal,
maka salah satu pihak atau keduabelahpihak mencatatkan perselisihannya pada   instansi   yang   bertanggung   jawab    di   bidang   ketenagakerjaan setempat.
5.   Perselisihan  kepentingan,  perselisihan  pemutusan  hubungan  kerja  atau perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh   yang telah dicatat pada instansi   yang   bertanggung   jawab   di   bidang   ketenagakerjaan   dapat diselesaikan  melalui  konsiliasi  atas  kesepakatan  kedua  belah  pihak, sedangkan penyelesaian perselisihan  melalui  arbitrase  atas  kesepakatan keduabelahpihakhanya perselisihankepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Apabilatidak ada kesepakatankedua belah pihak   untuk   menyelesaikan   perselisihannya   melalui   konsiliasi    atau arbitrase,  maka  sebelum  diajukan  ke  Pengadilan  Hubungan  Industrial terlebih dahulumelalui mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya perkara perselisihanhubungan industrial dipengadilan.
6.   Perselisihan hak yang telahdicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaantidak dapat diselesaikan melaluikonsiliasi atau arbitrase  namun  sebelum  diajukan  ke  Pengadilan  Hubungan  Industrial terlebih dahulumelalui mediasi.
7.   Dalam  hal  mediasi   atau  konsiliasi   tidak  mencapai  kesepakatan  yang dituangkan  dalam  perjanjian  bersama,  maka  salah  satu  pihak  dapat mengajukangugatankePengadilan Hubungan Industrial.
8.   Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrasedilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dantidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan  Industrial karena putusan  arbitrase bersifat  akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan   pembatalan ke Mahkamah Agung.
9.  Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum dandibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung.
10. Untuk   menjamin   penyelesaian   yang   cepat,   tepat,   adil   dan   murah, penyelesaian   perselisihan   hubungan    industrial    melalui    Pengadilan Hubungan  Industrial  yang  berada  pada  lingkungan  peradilan  umum dibatasi proses dantahapannya dengan tidak membukakesempatan untuk mengajukan  upaya  banding  ke  Pengadilan  Tinggi.  Putusan  Pengadilan Hubungan    Industrial    pada    Pengadilan    Negeri    yang    menyangkut perselisihan  hak   dan   perselisihan  pemutusan  hubungan   kerja   dapat langsung  dimintakan  kasasi  ke  Mahkamah  Agung.  Sedangkan  putusan Pengadilan    Hubungan     Industrial    pada    Pengadilan     Negeri    yang menyangkut   perselisihan   kepentingan   dan   perselisihan   antar   serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama danterakhir yang tidak dapat di mintakankasasike Mahkamah
Agung.
11. Pengadilan    Hubungan    Industrial    yang    memeriksa    dan    mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang,   yakni  seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang  Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasipengusahadan  organisasipekerja/organisasi buruh.
12. Putusan   Pengadilan    Hubungan    Industrial   pada    Pengadilan    Negeri mengenai   perselisihan    kepentingan    dan    perselisihan    antar   serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
13. Untuk menegakkan hukum ditetapkan sanksi sehingga dapat merupakan alat paksa yang lebih kuat  agar ketentuan undang-undang iniditaati.


II.    PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas


Pasal 2
Huruf a
Perselisihan  hak  adalah  perselisihan  mengenai  hak  normatif,  yang sudah   ditetapkan   dalam   perjanjian   kerja,   peraturan   perusahaan, perjanjiankerjabersama, atau peraturan perundang-undangan.


Hurufb
Cukup jelas


Huruf c
Cukup jelas


Huruf d
Cukup jelas


Pasal 3
Ayat (1)
Yang    dimaksud   perundingan   bipartit    dalam   pasal    ini    adalah perundingan antara pengusaha atau gabungan   pengusaha dan pekerja atau  serikat  pekerja/serikat  buruh  atau  antara  serikat  pekerja/serikat buruh danserikat pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih.


Ayat (2)
Cukup jelas


Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas


Ayat (2)
Cukup jelas


Ayat (3)
Ketentuan  dalam  pasal  ini  memberikan  kebebasan  bagi  pihak  yang berselisih untuk secara bebas memilih cara penyelesaian perselisihan yang merekakehendaki.


Ayat (4)
Cukup jelas


Ayat (5)
Cukup jelas


Ayat (6)
Cukup jelas


Pasal 5
Cukup jelas


Pasal 6
Cukup jelas


Pasal 7
Cukup jelas


Pasal 8
Cukup jelas


Pasal 9
Oleh karena mediator adalah  seorang pegawai negeri sipil, maka  selain syarat-syarat  yang  ada  dalam  pasal  ini  harus  dipertimbangkan  pula ketentuan yang mengatur tentang pegawai negerisipilpada umumnya.


Pasal 10
Cukup jelas


Pasal 11
Ayat (1)
Saksi ahli yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah seseorang yang mempunyaikeahliankhusus dibidangnya termasuk Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.


Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 12
Ayat (1)
Yang  dimaksudkan  dengan  membukakan  buku  dan  memperlihatkan surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau surat perintah  lembur  dan  lain-lain  yang  dilakukan  oleh  orang  yang ditunjuk mediator.


Ayat (2)
Oleh   karena   pada   jabatan-jabatan   tertentu   berdasarkan   peraturan perundang-undangan harus menjagakerahasiaannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksud sebagaisaksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan.
Contoh     :    Dalam    hal    seseorang    meminta    keterangan    tentang rekening milik pihak lain akandilayani oleh pejabat bank apabila  telah  ada  ijin  dari  Bank  Indonesia  atau  dari pemilik  rekening  yang  bersangkutan  (Undang-undang
Nomor  10  Tahun   1998  tentang  Perbankan).  Demikian pula  ketentuan  Undang-undang  Nomor  7  Tahun   1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain- lain.


Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas


Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksudkan dengan anjuran tertulis adalah pendapat atau saran  tertulis  yang  diusulkan  oleh  mediator  kepada  para  pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan mereka.


Hurufb
Cukup jelas


Huruf c
Cukup jelas


Huruf d
Cukup jelas


Huruf e
Cukup jelas


Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas


Ayat (2)
Ketentuan  mengenai  pengajuan  gugatan  yang  diatur  dalam  ayat  ini
sesuai dengan tata cara penyelesaian perkara perdata   pada  peradilan umum.


Pasal 15
Cukup jelas


Pasal 16
Cukup jelas


Pasal 17
Cukup jelas


Pasal 18
Cukup jelas


Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas


Hurufb
Cukup jelas


Huruf c
Cukup jelas


Huruf d
Cukup jelas


Huruf e
Cukup jelas


Huruff
Cukup jelas


Huruf g
Cukup jelas


Huruf h
Cukup jelas


Huruf i
Yang dimaksuddengan syarat lain dalam  huruf  i  ini adalah antara lain : pengaturan tentang standar kompetensikonsiliator, pelatihan calon atau konsiliator, seleksi bagi calon konsiliator, dan masalah teknislainnya.


Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 20
Cukup jelas


Pasal 21
Cukup jelas


Pasal 22
Ayat  (1)
Yang  dimaksudkan  dengan  membukakan  buku  dan  memperlihatkan surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah atau surat perintah  lembur  dan  lain-lain  yang  dilakukan  oleh  orang  yang ditunjukkonsiliator.


Ayat (2)
Oleh   karena   pada   jabatan-jabatan   tertentu   berdasarkan   peraturan perundang-undangan harus menjagakerahasiaannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksudsebagaisaksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan.


Contoh    :    Dalam    hal    seseorang    meminta    keterangan    tentang rekening milik pihak lain akandilayani oleh pejabat bank apabila  telah  ada  ijin  dari  Bank  Indonesia  atau  dari pemilik  rekening  yang  bersangkutan  (Undang-undang Nomor  10  Tahun   1998  tentang  Perbankan).  Demikian
pula  ketentuan  Undang-undang  Nomor  7  Tahun   1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain- lain.


Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 23
Cukup jelas


Pasal 24
Cukup jelas


Pasal 25
Cukup jelas


Pasal 26
Cukup jelas


Pasal 27
Cukup jelas


Pasal 28
Cukup jelas


Pasal 29
Cukup jelas


Pasal 30
Ayat (1)
Penetapan dalampasal inidimaksudkan untuk melindungikepentingan masyarakat, oleh karena itutidak setiap orang dapat bertindak sebagai arbiter.


Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas


Hurufb
Cukup jelas


Huruf c
Cukup jelas


Huruf d
Cukup jelas
Huruf e …


Huruf e
Cukup jelas
Huruff
Cukup jelas


Huruf g
Mengingat keputusan arbiter ini mengikat para pihak dan bersifat akhir  dan  tetap,  arbiter  haruslah  mereka  yang  kompeten  di bidangnya, sehingga kepercayaan para pihak tidaksia-sia.
Huruf h
Cukup jelas


Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 32
Cukup jelas


Pasal 33
Cukup jelas


Pasal 34
Cukup jelas


Pasal 35
Cukup jelas


Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas


Ayat (2)
Cukup jelas


Ayat (3)
Cukup jelas


Ayat (4)
Cukup jelas


Ayat (5)
Arbiter  yang  ditetapkan  Pengadilan  tidak  boleh  arbiter  yang  telah pernah ditolak oleh para pihak atau para arbiter tetapi harus arbiter lain.


Pasal 37
Yang  dimaksud  dengan menerima hasil-hasil yang telah  dicapai bahwa
arbiter penggantiterikat pada hasil arbiter yang digantikan yang tercermin dalamrisalah kegiatan penyelesaian perselisihan.


Pasal 38
Cukup jelas


Pasal 39
Cukup jelas


Pasal 40
Ayat (1)
Dalam  hal  terjadi  penggantian  arbiter  maka  jangka  waktu  30  (tiga puluh)  hari  kerja  dihitung   sejak  arbiter  pengganti  menandatangani perjanjian arbitrase.


Ayat (2)
Cukup jelas


Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 41
Cukup jelas


Pasal 42
Yang dimaksud surat kuasa khusus dalam pasal ini   adalah  kuasa  yang diberikan  oleh  pihak  yang  berselisih  sebagai  pemberi  kuasa  kepada seseorang atau lebih selakukuasanyauntuk mewakili pemberikuasauntuk melakukan perbuatanhukum dantindakan lainnya yang berkaitandengan perkaranya yang dicantumkan secara khususdalam surat kuasa.


Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dipanggil secara patut” dalam ayat iniyaitu para pihak telahdipanggilberturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali, setiap panggilan masing-masingdalamwaktu 3 (tiga) hari.


Ayat (2)
Cukup jelas


Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas


Pasal 45
Cukup jelas


Pasal 46
Cukup jelas


Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksuddengan membukakan bukudan memperlihatkan surat- surat dalam pasal ini adalah, misalnya buku tentang upah atau surat perintah lembur dandilakukan  oleh orang yang ahli soal  pembukuan yang ditunjuk oleh arbiter.


Ayat (2)
Oleh   karena  pada  jabatan-jabatan   tertentu  berdasarkan  peraturan perundang-undangan harus menjagakerahasiaannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksudsebagaisaksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan.
Contoh    :    Dalam    hal    seseorang    meminta    keterangan    tentang rekening milik pihak lain akandilayani oleh pejabat bank apabila  telah  ada  ijin  dari  Bank  Indonesia  atau  dari pemilik  rekening  yang  bersangkutan  (Undang-undang Nomor  10  Tahun   1998  tentang  Perbankan).  Demikian
pula  ketentuan  Undang-undang  Nomor  7  Tahun   1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan dan lain- lain.


Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 48
Cukup jelas


Pasal 49
Cukup jelas


Pasal 50
Cukup jelas


Pasal 51
Cukup jelas


Pasal 52
Ayat (1)
Upaya  hukum  melalui  permohonan  pembatalan  dimaksudkan  untuk memberikesempatan kepadapihak berselisih yang dirugikan.


Ayat (2)
Cukup jelas


Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 53
Ketentuan  dalam  pasal  ini  dimaksudkan  untuk  memberikan    kepastian hukum.


Pasal 54
Cukup jelas


Pasal 55
Cukup jelas


Pasal 56
Cukup jelas


Pasal 57
Cukup jelas


Pasal 58
Cukup jelas


Pasal 59
Ayat (1)
-   Berhubung  Daerah  Khusus  Ibukota  Jakarta  merupakan  Ibu  Kota Propinsi  sekaligus Ibu Kota Negara Republik Indonesia memiliki
lebih  dari  satu  Pengadilan  Negeri,  maka  Pengadilan  Hubungan Industrial yang dibentuk untuk pertama kali dengan undang-undang ini adalah Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
-   Dalam haldi ibukota propinsi terdapat Pengadilan Negeri Kota dan Pengadilan   Negeri    Kabupaten,    maka    Pengadilan    Hubungan Industrial menjadi bagian Pengadilan Negeri Kota.


Ayat (2)
Yang  dimaksud  dengan  kata  “segera”  dalam  ayat  ini  adalah  bahwa dalamwaktu 6 (enam) bulan sesudah undang-undang ini berlaku.


Pasal 60
Cukup jelas


Pasal 61
Cukup jelas


Pasal 62
Cukup jelas


Pasal 63
Cukup jelas


Pasal 64
Cukup jelas


Pasal 65
Ayat (1)
Pada  waktu  pengambilan  sumpah/janji  diucapkan  kata-kata  tertentu  sesuaidengan agama masing-masing, misalnyauntuk penganut agama  Islam “Demi Allah” sebelumlafal sumpahdan untuk penganut agama  Kristen/Katholik  kata-kata  “Kiranya  Tuhan  akan  menolong   saya” sesudahlafal sumpah.


Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 66
Cukup jelas


Pasal 67
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas


Hurufb
Cukup jelas


Huruf c
Yang  dimaksud  dengan  sakit jasmani  atau  rohani  terus  menerus adalah   sakit   yang   menyebabkan   penderita   tidak   mampu   lagi melakukantugasnya dengan baik.


Huruf d
Cukup jelas


Huruf e
Yang dimaksud dengan tidak cakap menjalankan tugas misalnya sering  melakukan  kesalahan  dalam  menjalankan  tugas  karena kurang mampu.


Huruff
Cukup jelas


Huruf g
Cukup jelas


Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 68
Cukup jelas


Pasal 69
Cukup jelas


Pasal 70
Cukup jelas


Pasal 71
Cukup jelas


Pasal 72
Cukup jelas


Pasal 73
Yang dimaksud tunjangan dan hak-hak lainnya adalah tunjangan jabatan dan hak-hak yang menyangkut kesejahteraan.


Pasal 74
Cukup jelas


Pasal 75
Cukup jelas


Pasal 76
Cukup jelas


Pasal 77
Cukup jelas


Pasal 78
Cukup jelas


Pasal 79
Cukup jelas


Pasal 80
Cukup jelas


Pasal 81
Cukup jelas


Pasal 80
Cukup jelas


Pasal 81
Cukup jelas


Pasal 82
Cukup jelas


Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas


Ayat (2)
Dalam penyempurnaan gugatan, Panitera atau Panitera Penganti dapat membantu penyusunan/menyempurnakan gugatan. Untuk itu Panitera atau Panitera Pengganti mencatat dalam daftarkhusus yang memuat :
-    nama lengkap danalamat atau tempat kedudukan para pihak;
-    pokok-pokok   persoalan   yang  menjadi  perselisihan   atau   obyek gugatan;
-    dokumen-dokumen, surat-surat dan hal-hallain yang dianggap perlu oleh penggugat.


Pasal 84
Cukup jelas


Pasal 85
Cukup jelas


Pasal 86
Cukup jelas


Pasal 87
Yang  dimaksud  dengan  serikat pekerja/serikat buruh  sebagaimana  yang dimaksud  dalam pasal  ini  meliputi   pengurus  pada tingkat perusahaan, tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Propinsi dan Pusat baik serikat pekerja/ serikat buruh, anggota federasi, maupun konfederasi.


Pasal 88
Cukup jelas


Pasal 89
Cukup jelas


Pasal 90
Cukup jelas


Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas


Ayat (2)
Oleh   karena   pada   jabatan-jabatan   tertentu   berdasarkan   peraturan perundang-undangan harus menjaga kerahasiannya, maka permintaan keterangan kepada pejabat dimaksudsebagaisaksi ahli harus mengikuti prosedur yang ditentukan.


Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 92
Ketentuan sahnya persidangan dalampasal ini dimaksudkan setiap sidang harusdihadiri oleh Hakim danseluruh Hakim Ad-Hoc yang telahditunjuk untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.


Pasal 93
Cukup jelas


Pasal 94
Cukup jelas


Pasal 95
Cukup jelas


Pasal 96
Ayat (1)
Permintaan putusan seladisampaikan bersama-sama dengan materi gugatan.


Ayat (2)
Cukup jelas


Ayat (3)
Cukup jelas


Ayat (4)
Cukup jelas


Pasal 97
Cukup jelas


Pasal 98
Cukup jelas


Pasal 99
Cukup jelas


Pasal 100
Cukup jelas


Pasal 101
Cukup jelas


Pasal 102
Cukup jelas


Pasal 103
Cukup jelas


Pasal 104
Cukup jelas


Pasal 105
Cukup jelas


Pasal 106
Dengan  ketentuan  ini  berarti  jangka  waktu  membuat  putusan  asli  dan salinan putusan dibatasi  selama  14  (empat  belas)  hari   kerja  agar  tidak merugikan hak para pihak.


Pasal 107
Cukup jelas


Pasal 108
Cukup jelas


Pasal 109
Cukup jelas


Pasal 110
Cukup jelas


Pasal 111
Yang dimaksuddengan Pengadilan Negeri setempat dalampasal ini adalah Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut.


Pasal 112
Cukup jelas


Pasal 113
Cukup jelas


Pasal 114
Cukup jelas


Pasal 115
Cukup jelas


Pasal 116
Cukup jelas


Pasal 117
Cukup jelas


Pasal 118
Cukup jelas


Pasal 119
Cukup jelas


Pasal 120
Cukup jelas


Pasal 121
Cukup jelas


Pasal 122
Cukup jelas


Pasal 123
Cukup jelas


Pasal 124
Cukup jelas


Pasal 125
Cukup jelas


Pasal 126
Tenggang  waktu  dalam  pasal   ini  dimaksudkan  untuk  mempersiapkan penyediaan dan pengangkatan Hakim dan Hakim Ad Hoc, persiapan sarana dan  prasarana  seperti  penyediaan  kantor  dan  ruang  sidang  Pengadilan Hubungan Industrial.


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4356
回复

使用道具 举报

Copyright © 2001-2013 Comsenz Inc. Powered by Discuz! X3.4 京公网安备 11010802035448号 ( 京ICP备19053597号-1,电话18600416813,邮箱1479971814@qq.com ) 了解Tax100创始人胡万军 优化与建议 隐私政策
快速回复 返回列表 返回顶部