Tax100 税百

  • 在线人数 1916
  • Tax100会员 33074
查看: 251|回复: 0

[东南亚] 印度尼西亚《一般税法》

313

主题

583

帖子

1355

积分

超级版主

Rank: 8Rank: 8

积分
1355
2024-11-21 00:05:58 | 显示全部楼层 |阅读模式
政策文件
政策原文链接: https://peraturan.bpk.go.id/Details/46986/uu-no-6-tahun-1983
发文单位:
文件编号: -
文件名: 一般税法
发文日期:
政策解读: -
备注: -
纵横四海点评: -
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR  6 TAHUN 1983
TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,
Menimbang       :      
a.   bahwa   Negara    Republik   Indonesia    adalah    negara   hukum
berdasarkan  Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar   1945  yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara, karena itu menempatkan    perpajakan    sebagai    salah     satu    perwujudan kewajiban  kenegaraan  bagi  para  warganya  yang  merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
b.   bahwa sistem perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku, tidak sesuai lagi   dengan   tingkat    kehidupan    sosial-ekonomi   masyarakat Indonesia baik  dalam  segi kegotongroyongan nasional maupun dalamlaju pembangunannasional yang telahdicapai;
c.   bahwa  sistem  perpajakan  yang  tertuang   di  dalam  ketentuan- ketentuan  perpajakan  yang  berlaku   selama  ini  belum  dapat menggerakkan peran serta semua lapisansubyekpajak yang besar peranannya  dalam meningkatkan penerimaan  dalam negeri  dan sangat    diperlukan     guna    mewujudkan     kelangsungan    dan peningkatan pembangunannasional;
d.   bahwa   oleh   karena   itu,   sesuai   pula   dengan   amanat   yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis  Permusyawaratan  Rakyat  Republik  Indonesia  Nomor II/MPR/  1983), perlu  diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang  berlaku   dengan   sistem  yang  memberikan  kepercayaan kepada   subyek   pajak   untuk   melaksanakan   kewajiban   serta memenuhi   haknya    di    bidang    perpajakan,    sehingga   dapat mewujudkan  perluasan  dan  peningkatan  kesadaran  kewajiban perpajakan serta meratakan pendapatan masyarakat;
e.   bahwa  untuk  dapat  mencapai  maksud  tersebut  di  atas,  perlu diadakan  pembaharuan  dan  penggantian  peraturan  perundang- undangan perpajakan yang selama ini berlaku;
Mengingat         :      
1.    Pasal  5  ayat  (1),  Pasal  20  ayat  (1  ),  dari  Pasal  23  ayat  (2),
Undang-Undang Dasar 1945;
2.   Ketetapan  Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar HaluanNegara;
3.   Regeling  van  het  Beroep in Belastingszaken (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 29) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun  1959  Nomor  13.  Tambahan  Lembaran  Negara  Nomor 1748);
4.   Undang-undang Nomor  19 Tahun  1959 tentang Penagihan Pajak Negara  dengan  Surat  Paksa  (Lembaran  Negara   Tahun   1959 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850);
5.   Undang-undang  Nomor  8  Tahun   1981  tentang  Hukum  Acara Pidana  (Lembaran  Negara  Tahun   1981  Nomor  76,  Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
Dengan  persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Dengan mencabut:   
1.    Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 319)  sebagaimana  telah  beberapa  kali  diubah,  terakhir  dengan Undang-undang  Nomor  8  Tahun  1970  tentang  Perubahan  dan Tambahan Ordonansi Pajak Perseroan  1925  (Lembaran Negara Tahun  1970  Nomor  43,  Tambahan  Lembaran  Negara  Nomor 2940);
2.   Ordonansi   Pajak   Pendapatan,   1944   (Staatsblad   Tahun   1944 Nomor  17)  sebagaimana  telah  beberapa  kali  diubah,  terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun  1970 tentang Perubahan dan  Tambahan  Ordonansi  Pajak  Pendapatan   1944  (Lembaran Negara  Tahun   1970  Nomor  44,  Tambahan  Lembaran  Negara Nomor 2941);
3.   Undang-undang  Nomor  8  Tahun  1967  tentang  Perubahan  dan Penyempurnaan, Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak  Kekayaan   1932,  dan  Pajak  Perseroan   1925  (Lembaran
Negara  Tahun   1967  Nomor  18,  Tambahan  Lembaran  Negara Nomor  2827);  kecuali  ketentuan-ketentuan  mengenai  tata  cara pemungutanPajak Kekayaan;
4.   Undang-undang Nomor 10 Tahun 1970 tentangPajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2942);
Menetapkan      :      UNDANG-UNDANG   TENTANG   KETENTUAN   UMUM   DAN
TATA CARA PERPAJAKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1   Yang dimaksuddalam undang-undang ini dengan:
a.        Wajib Pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakanditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan;
b.       Badan adalah perseroan terbatas, perseroan komanditer, badanusaha milik Negara atau Daerah dengan nama dandalambentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usahatetap;
c.        Masa  Pajak  adalah  jangka  waktu  tertentu  yang  digunakan  sebagai  dasar  untuk menghitung jumlah pajak yang terhutang;
d.        Tahun Pajak adalah jangkawaktu satu tahun takwim atau satu tahun buku; e.        Bagian Tahun Pajak adalahbagian dari jangkawaktu satu Tahun Pajak;
f.        Surat   Pemberitahuan   adalah   surat   yang   oleh   Wajib   Pajak  digunakan  untuk melaporkan   penghitungan   dan    pembayaran   pajak    yang   terhutang   menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
g.        Surat Pemberitahuan Masa  adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk memberitahukan pajak yang terhutang dalam suatu Masa Pajak atau pada  suatu saat;
h.        Surat Pemberitahuan Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk memberitahukan pajak yang terhutang dalam suatu Tahun Pajak;
i.         Surat   Setoran   Pajak   adalah   surat  yang  oleh  Wajib  Pajak  digunakan  untuk melakukan  pembayaran  pajak  yang  terhutang   di  Kas  Negara   atau   di  tempat pembayaran   lainnya  yang   ditunjuk   oleh  Menteri  Keuangan,   dan/atau  untuk melaporkan ke Direktorat JenderalPajak;
j.        Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukantagihan pajak dan,/atausanksi berupa bungadan denda administrasi;
k.        Surat Ketetapan Pajak adalah, surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terhutang,jumlah pengurangan pembayaran pajak,jumlahkekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya  sanksi  administrasi,  dan jumlah  pajak  yang masih harusdibayar;
l.        Surat Ketetapan Pajak Tambahanadalah Surat keputusan yang menambahjumlah pajak yang telahditetapkan;
m.       Surat  Keputusan  Kelebihan  Pembayaran  Pajak   adalah   surat  keputusan  yang menentukan pengembalian kelebihan pembayaran jumlahpajak yang telahdibayar dan/atau  dipotong  dan/atau  dipungut,  karena  jumlah  pajak  yang  telah  dibayar dan/ataudipotong dan/ataudipungut lebih besardaripajak yang terhutang;
n.        Surat  Pemberitaan  adalah  surat  yang berisi pemberitahuan kepada Wajib Pajak, bahwa jumlah  pajak  yang  terhutang  sama  besarnya  dengan jumlah  pajak  yang sudahdibayar, dan/ataudipotong dan/ataudipungut;
o.        Pajak yang terhutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak,  dalam  Tahun  Pajak  atau  dalam  Bagian  Tahun  Pajak  menurut  ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
p.        Surat  Paksa  adalah  surat  perintah  membayar  pajak  dan  tagihan  yang  berkaitan dengan  pajak,  sesuai  dengan  Undang-undang  Nomor   19  Tahun   1959  tentang Penagihan  Pajak  Negara  dengan   Surat  Paksa  (Lembaran  Negara  Tahun   1959 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850);
q.        Kredit  Pajak  adalah  jumlah  pembayaran  pajak  yang  dibayar  oleh  Wajib  Pajak sendiri, setelah ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan dikurangkan dari seluruh pajak yang terhutang termasuk apabila ada jumlah pajak atas penghasilan yang terhutangdi luar negeri;
r.        Pekerjaan Bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidakterikat oleh suatu hubungankerja;
s.        Tindakan  Pemeriksaan  adalah  tindakan  yang  dilakukan  oleh petugas perpajakan dalam rangka  melaksanakan pemeriksaan  terhadap  Wajib  Pajak, untuk mencari bahan-bahan  guna penghitunganjumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang harusdibayar.
BAB II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK Pasal 2
Setiap  Wajib  Pajak  wajib  mendaftarkan  dirinya  pada  Direktorat  Jenderal  Pajak  dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 3
(1)      Setiap  Wajib  Pajak  wajib  mengisi  Surat  Pemberitahuan,  menandatangani,  dan menyampaikannya  ke  Direktorat  Jenderal  Pajak  dalam  wilayah  Wajib  Pajak bertempattinggal atau berkedudukan.
(2)      Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditentukan oleh Direktorat JenderalPajak.
(3)      Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a.     Untuk Surat Pemberitahuan Masa, selambat-lambatnya dua puluhharisetelah akhir Masa Pajak;
b.     Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, selambat-lambatnya tigabulan setelah akhir Tahun Pajak.
(4)      Direktur  Jenderal  Pajak   atas  permohonan  Wajib  Pajak   dapat  memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) hurufb.
(5)      Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diajukan secara tertulis, disertai surat pernyataan mengenai penghitungan  sementara pajak yang terhutang dalam satu  Tahun  Pajak  dan  bukti  pelunasan  kekurangan  pembayaran  pajak  yang terhutang.
(6)      Surat   Pemberitahuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  harus   dilengkapi dengan   lampiran-lampiran   yang   diperlukan   sesuai   dengan   persyaratan   yang ditetapkan   dalam   ketentuan   peraturan   perundang-undangan   perpajakan   yang bersangkutan.
Pasal 4
(1)      Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap,jelas,dan menandatanganinya.
(2)      Dalam hal Wajib Pajak  adalah Badan, Surat Pemberitahuan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
(3)      Dalam  hal  Surat  Pemberitahuan  diisi  dan  ditandatangani  oleh  orang  lain  bukan Wajib Pajak, harus dilampiri surat kuasakhusus.
(4)      Pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugilaba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kenapajak.
Pasal 5
Untuk  menyampaikan  Surat  Pemberitahuan,  Direktur  Jenderal  Pajak  dalam  hal-hal tertentu dapat menentukan tempat lain bukan tempat sebagaimana dimaksuddalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 6
(1)      Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu,  sedangkan  untuk  Surat  Pemberitahuan  Tahunan  harus  diberikan juga  bukti penerimaan.
(2)      Pengiriman  Surat  Pemberitahuan  melalui  Kantor  Pos  dan  Giro  harus  dilakukan secara tercatat, dantanda bukti serta tanggalpengiriman (dianggap sebagaitanda buktidan tanggal penerimaan.
Pasal 7
Apabila  Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas  waktu  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  3  ayat  (3),  dikenakan  sanksi  berupa denda administrasisebesar Rp   10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Pasal 8
(1)      Wajib    Pajak     dapat    membetulkan     sendiri     Surat    Pemberitahuan    dengan menyampaikan pernyataan tertulis, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukantindakan pemeriksaan.
(2)      Dalam   hal    Wajib   Pajak    membetulkan    sendiri   Surat    Pemberitahuan   yang mengakibatkan  hutang  pajak  menjadi  lebih  besar,  maka  kepadanya  dikenakan sanksi berupa bunga  sebesar 2%  (dua per-sen)  sebulan  atas jumlah pajak yang kurang  dibayar,  dihitung mulai  saat penyampaian  Surat  Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu.
(3)      Sekalipuntelah dilakukantindakan pemeriksaan, tetapisepanjang belumdilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak  tersebut  tidak  akan  dilakukan  penyidikan,  apabila  Wajib  Pajak  dengan kemauan  sendiri  mengungkapkan  ketidakbenaran  perbuatannya  tersebut  dengan disertai   pelunasan   kekurangan   pembayaran   jumlah   pajak   yang    sebenarnya terhutang beserta denda administrasi sebesar dua kalijumlah pajak yang kurang dibayar.
Pasal 9
(1)      Menteri  Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terhutanguntuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak,  selambat-lambatnya  lima  belas  hari  setelah  saat  terhutangnya  pajak  atau Masa Pajak berakhir.
(2)      Kekurangan  pembayaran pajak yang terhutang berdasarkan  Surat Pemberitahuan Tahunan harus dibayar lunas dalam jangka waktu tiga bulan setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu disampaikan.
(3)      Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan harusdilunasidalam jangkawaktu satu bulan sejak tanggalditerbitkan.
(4)      Direktur   Jenderal   Pajak   atas   permohonan   Wajib   Pajak   dapat   memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau memberikan penundaan pembayaran pajak.
Pasal 10
(1)      Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terhutang di Kas Negara atau di tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(2)      Tata   cara   pembayaran,   penyetoran   pajak,   dan  pelaporannya   serta   tata   cara mengangsur  dan  menunda  pembayaran  pajak  diatur  lebih  lanjut  oleh  Menteri Keuangan.
Pasal 11
(1)      Atas   permohonan    Wajib   Pajak,   kelebihan   pembayaran   pajak    sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  17  ayat  (1)  huruf  a  dikembalikan,  atau  apabila  ternyata Wajib  Pajak  mempunyai  hutang  pajak  lainnya,  langsung  dapat  diperhitungkan untuk melunasidahulupajak yang terhutang.
(2)      Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan  dalam  jangka  waktu  satu  bulan  setelah  Surat  Keputusan  Kelebihan Pembayaran  Pajak  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal   17  ayat  (1)  huruf  a ditetapkan.
(3)      Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangkawaktu satu bulan, Pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas kelambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak, dihitung dari saat berlakunya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat dilakukan pembayaran kelebihan.
(4)      Tata cara perhitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
BAB III
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
Pasal 12
Setiap  Wajib  Pajak  wajib  membayar  pajak  yang  terhutang  berdasarkan  ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak.
Pasal 13
(1)      Dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terhutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut :
a.      apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terhutang kurang atau tidak dibayar;
b.     apabila    Surat   Pemberitahuan   tidak   (disampaikan   dalam   jangka   waktu sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  3  ayat  (3)  dan  setelah  ditegur  secara tertulis  tidak  disampaikan  pada  waktunya  sebagaimana  ditentukan  dalam Surat Teguran;
c.      apabila  berdasarkan  hasil  pemeriksaan  mengenai  Pajak  Pertambahan Nilai Barang  dan  Jasa  dan  Pajak  Penjualan  atas  Barang  Mewah  ternyata  tidak seharusnya dikompensasikan selisihlebihpajak, tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nolpersen), atau tidak seharusnya diberikan pengembalian pajak;
d.     apabilakewajibantidak dipenuhisebagaimana dimaksuddalam Pasal 26 dan
Pasal 29, sehinggatidak dapat diketahuibesarnya pajak yang terhutang.
(2)      Jumlah    kekurangan   pajak    yang    terhutang    dalam    Surat   Ketetapan    Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditambah dengan sanksi administrasi berlipat bungasebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung mulai saat terhutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian  Tahun  Pajak  atau  Tahun  Pajak  sampai  dengan  diterbitkannya  Surat Ketetapan Pajak.
(3)      Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hurufb, huruf c, dan hurufdditambah dengan sanksiadministrasi berupa kenaikan sebesar :
a.      50  %  (lima  puluh  persen)  dari  Pajak  Penghasilan  yang  kurang  atau  tidak dibayar dalam satu Tahun Pajak;
b.      100%   (seratus  persen)   dari  Pajak  Penghasilan  yang  tidak  atau  kurang dipotong,  tidak  atau  kurang  dipungut,  tidak  atau  kurang  disetorkan,  dan dipotong atau dipungut tetapitidak atau kurangdisetorkan;
c.      100%(seratus  persen)  dari  Pajak  Pertambahan  Nilai  Barang  dan  Jasa  dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
(4)      JumlahPajak Penghasilan yang dipotong dandipungut oleh pihak ketigauntuk satu Tahun Pajak, jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri, pajak yang ditagih dalam Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak tersebut, sera pajak atas penghasilan yang dibayar atau terhutangdi luar negeri  untuk Tahun Pajak yang bersangkutan, dikreditkan dari jumlah Pajak Penghasilan yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak.
(5)      Sanksi  administrasi berupa bunga,  denda administrasi, dan kenaikan, tidak dapat dikreditkandarijumlahpajak yang terhutang.
(6)      Besarnya pajak yang terhutang dalam suatu Tahun Pajak yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, menjadi pasti menurut ketentuan peraturan    perundang-undangan    perpajakan,    apabila    dalam    jangka    waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak.
(7)      Apabila  jangka  waktu  lima  tahun  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  telah lewat,  Surat  Keputusan  Pajak  tetap  dapat  diterbitkan  dalam  hak  Wajib  Pajak setelah jangkawaktulima tahuntersebut dipidana, karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan  yang  dilakukan  mengenai pajak yang penagihannya  telah lewat  waktu, berdasarkan putusan  Pengadilan yang  telah  memperoleh kekuatan hukumitu.
Pasal 14
(1)      Surat Tagihan Pajak dikeluarkan apabila :
a.      pajak dalamtahun berjalan tidak atau kurangdibayar;
b.     Wajib   Pajak   dikenakan   sanksi   administrasi   berupa   denda   administrasi dan/atau bunga;
c.      dari  hasil penelitian  Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagaiakibat salah tulis dan/atau salah hitung.
(2)      Surat Tagihan Pajak  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak.
Pasal 15
(1)      Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Tambahan dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat pajak terhutang, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila diketemukan data baru dan/atau data yang semulabelum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlahpajak yang terhutang.
(2)      Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak Tambahan, ditambah  dengan  sanksi  administrasi  berupa  kenaikan   sebesar   100%   (seratus persen) dari jumlahkekurangan pajak tersebut.
(3)      Kenaikan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  tidak  dikenakan,  apabila  Surat Ketetapan  Pajak  Tambahan  itu  diterbitkan  berdasarkan  keterangan  tertulis  oleh Wajib Pajak atas kehendak sendiri, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukantindakan pemeriksaan.
(4)      Apabila  jangka  waktu  lima  tahun  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Tambahan tetap dapat diterbitkan dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu lima tahun tersebut dipidana, karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan mengenai pajak yang penagihannya telah   lewat  waktu,  berdasarkan  putusan  pengadilan  yang  telah  memperoleh kekuatanhukum tetap.
Pasal 16
Kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan  perpajakan  yang  terdapat   dalam   surat  ketetapan  pajak,  dapat dibetulkan oleh Direktur JenderalPajak karena jabatan atas permohonan Wajib Pajak.
Pasal 17
(1)      Direktur    Jenderal    Pajak    setelah   melakukan   penelitian    atau    pemeriksaan, menerbitkan :
a.  Surat …
a.        Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak dalam jangkawaktu paling lama duabelas bulansejak diterima surat permohonan, apabilajumlahpajak yang dibayar atau jumlah Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut ternyata lebih besar darijumlahpajak yang terhutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terhutang;
b.        Surat  Pemberitaan,  apabilajumlah pajak yang dibayar atau jumlah Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut sama dengan jumlah pajak yang terhutang.
(2)      Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a Direktur  Jenderal  Pajak tidak memberi  suatu keputusan, permohonan kelebihan pembayaran pajak tersebut dianggap dikabulkan.
BAB IV
PENAGIHAN PAJAK
Pasal 18
Surat  Tagihan  Pajak,   Surat  Ketetapan  Pajak,  dan   Surat  Ketetapan  Pajak  Tambahan merupakan dasar penagihan pajak. Tata cara pelaksanaan penagihan pajak diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
Pasal 19
(1)      Apabila atas pajak yang terhutang, pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau  kurang  dibayar,  maka  atas  jumlah  pajak  yang  tidak  dibayar  atau  kurang dibayar itu, dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran dan bagian dari bulandihitung penuh satu bulan.
(2)      Dalam  hal  Wajib  Pajak  diperbolehkan  mengangsur,  atau  menunda  pembayaran pajak, juga dikenakan bunga sebesar 2%, (dua persen) sebulan.
(3)      Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terhutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal, 3 ayat (5) kurang darijumlah pajak yang sebenarnya terhutang, maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut,  dikenakan bunga  sebesar  2%  (dua persen)  sebulan  yang  dihitung  dari  saat  berakhirnya  kewajiban  menyampaikan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) hurufb sampai dengan hari dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut..
Pasal 20
Menyimpang   dari ketentuan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan ditagih seketika, dalam hal:
a.        Wajib  Pajak atau wakilnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya ataupun berniat untuk itu;
b.        Wajib  Pajak  atau  wakilnya  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  32  ayat  (2) menghentikan   atau   secara   nyata   mengecilkan   kegiatan   perusahaannya   atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia ataupun memindah tangankan barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dimilikinya atau dikuasainya;
c.        Pembubaran Badan atau niat untuk membubarkannya, pernyataan pailit, begitu pula dalam halterjadi penyitaan atas barang bergerak atau barang tidak bergerak milik Wajib Pajak atau wakilnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2).
Pasal 21
(1)      Negara mempunyai hak mendahului untuk tagihan pajak atas barang-barang Wajib Pajak begitu pula atas barang-barang milik wakilnya, serta orang atau Badan yang menurut  Pasal  32  ayat  (2)dan  ketentuan  undang-undang  perpajakan  lainnya, bertanggung jawab secara pribadi dan/ atau secara renteng.
(2)      Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi pokokpajak, bunga,denda administrasi, kenaikan, dan biaya penagihan.
(3)      Hak  mendahulu  untuk  tagihan  pajak  melebihi  segala  hak  mendahulu  lainnya, kecuali terhadap hak mendahulu daripihak- pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1139 angka 1 dan angka 4, Pasal 1149 angka 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan dalam  Pasal 80 dan Pasal 81 Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
(4)      Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu duatahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan, kecuali apabila dalam jangka waktu Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan penundaan pembayaran.
(5) Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu dua   tahun   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (4),   dihitung   sejak   tanggal pemberitahuan  Surat  Paksa,  atau  dalam  hal  diberikan  penundaan  pembayaran jangka  waktu   dua  tahun  tersebut   ditambah  dengan  jangka  waktu  penundaan pembayaran.
Pasal 22
Hak untuk melakukan penagihan pajak termasuk bunga denda administrasi, kenaikan dan biaya penagihan gugur setelah lampau waktulima tahunterhitung sejak saat terhutangnya pajak  atau  berakhirnya  Masa  Pajak,  Bagian  Tahun  Pajak,  atau  Tahun  Pajak  yang bersangkutan, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (7) dan Pasal 15 ayat (4).
Pasal 23
Jumlahpajak yang terhutangberdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak, dan Surat Ketetapan Pajak Tambahan yang tidak dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Pasal 24
Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur oleh Menteri Keuangan.
BAB V
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 25
(1)      Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur JenderalPajak atas suatu :
a.      Surat Pemberitaan;
b.      Surat Ketetapan Pajak,
c.      Surat Ketetapan Pajak Tambahan;
d.      Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran;
e.      Pemotongan  atau  pemungutan  oleh  pihak  ketiga  berdasarkan  ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2)      Keberatan  diajukan  secara  tertulis  dalam  bahasa  Indonesia  dengan  menyatakan alasan-alasan secara jelas.
(3)      Keberatan  harus  diajukan,  dalam  jangka  waktu  tiga  bulan  sejak  tanggal  surat, tanggal  pemotongan  atau  pemungutan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1), kecuali  apabila  Wajib  Pajak  dapat menunjukkan bahwa jangka waktu  itu tidak dapat dipenuhikarena keadaan di luarkekuasaannya.
(4)      Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjaditanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagikepentingan Wajib Pajak.
(5)      Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal  Pajak  wajib  memberikan   secara   tertulis  hal-hal  yang  menjadi   dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutanpajak.
(6)      Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
Pasal 26
(1)      Direktur  Jenderal Pajak dalam   jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2)      Sebelum  surat  keputusan  diterbitkan,  Wajib  Pajak  dapat  menyampaikan  alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
(3)      Keputusan   Direktur   Jenderal   Pajak   atas   keberatan   dapat   berupa   menerima seluruhnya atau  sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang.
(4)      Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak yang ditentukan dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
(5)      Apabila  jangka  waktu  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  telah  lewat  dan Direktur  Jenderal  Pajak  tidak  memberi  suatu  keputusan  maka  keberatan  yang diajukan tersebut dianggap diterima.
Pasal 27
(1)      Wajib  Pajak  dapat  mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatannya dalam  jangka  waktu  tiga  bulan   sejak  tanggal  keputusan  ditetapkan,  dengan dilampiri salinan Surat Keputusan tersebut.
(2)      Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(3)      Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak.
BAB VI
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 28
(1)      Orang  atau  Badan  yang  melakukan  kegiatan  usaha  atau     pekerjaan  bebas    di Indonesia  harus  mengadakan  pembukuan   yang  dapat  menyajikan  keterangan- keterangan  yang  cukup  untuk  menghitung  Penghasilan  Kena  Pajak  atau  harga perolahan  dan  penyerahan  barang  atau  jasa  guna  penghitungan  jumlah  pajak terhitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2)      Bagi   Wajib   Pajak   yang  menurut  ketentuan  peraturan  perundang-  undangan perpajakandibebaskan dari kewajiban untuk mengadakan pembukuan sebagaimana dimaksuddalam ayat (1), sekurang- kurangnya harus menyelenggarakan pencatatan untuk dijadikandasar pengenaan pajak yang terhutang.
(3)      Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikadbaik dan mencerminkan  keadaan atau kegiatanusaha yang sebenarnya.
(4)      Pembukuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  sekurang--  kurangnya  terdiri dari catatan yang dikerjakan secara teratur tentang keadaan kas dan bank, daftar hutang-piutang dari daftar persediaan barang, dan pada setiap Tahun Pajak berakhir Wajib   Pajak   harus   menutup   pembukuannya    dengan   membuat   neraca    dan perhitungan rugi laba berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas (konsisten) dengan tahunsebelumnya.
(5)      Pembukuan    atau    pencatatan    harus    diselenggarakan    di    Indonesia    dengan menggunakan  huruf Latin,  angka  Arab,  satuan  mata  uang  rupiah,  dan  disusun dalam  bahasa  Indonesia  atau  dalam  bahasa  asing  yang  diizinkan  oleh  Menteri Keuangan.
(6)      Pembukuan  atau pencatatan dan dokumen yang menjadi dasarnya serta dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak harusdisimpan selama sepuluhtahun.
Pasal 29
(1)      Direktur  Jenderal  Pajak  berwenang  melakukan  pemeriksaan  untuk  menetapkan besarnya  jumlah  pajak  yang  terhutang   dan  untuk  tujuan  lain  dalam  rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2)      Untuk  keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus  dilengkapi dengan  Surat Perintah  Pemeriksaan  dan  harus  memperlihatkannya  kepada  Wajib  Pajak  yang diperiksa.
(3)      Wajib Pajak yang diperiksaharus :
a.      memperlihatkan  dan  meminjamkan  pembukuan  atau  pencatatan,  dokumen yang menjadidasarnya, dandokumen lain yang berhubungandengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak;
b.     memberi kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perludan memberibantuan guna kelancaran pemeriksaan;
c.      memberikan keterangan yang diperlukan.
(4)      Apabila   dalam   pengungkapan   pembukuan,   pencatatan,   atau   dokumen   serta keterangan yang  diminta, Wajib Pajak yang terikat  oleh  suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajibanuntuk merahasiakan ituditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang  berlaku.
Pasal 30
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu, bila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) hurufb.
Pasal 31
Tata cara pemeriksaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 32
(1)      Dalam  menjalankan  hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili,dalam hal
a.      Badan oleh pengurus;
b.     Badan dalam   pembubaran atau   pailit oleh orang atau Badan yang dibebani dengan pemberesan;
c.      suatu warisan yang belumterbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus hartapeninggalannya;
d.     anak yang belum dewasa  atau  orang yang berada  dalam pengampunan oleh wali atau pengampunya.
(2)      Wakil  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  bertanggung jawab  secara  pribadi dan/atau  secara  renteng  atas  pembayaran  pajak yang  terhutang,  kecuali  apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya  benar-benar  tidak  mungkin  untuk  dibebani  tanggung jawab  atas pajak yang terhutang tersebut.
(3)      Orang atau Badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan   hak    dan   memenuhi    kewajiban    menurut   ketentuan    peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal 33
Pembeli  atau  penerima  jasa   sebagaimana  dimaksud  dalam  Undang-  Undang  Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti pembayaran pajak.
Pasal 34
(1)      Setiappejabat dilarang memberitahukan kepadapihak lain yang tidak berhak segala sesuatu  yang  diketahui  atau  diberitahukan  kepadanya  oleh  Wajib  Pajak  dalam rangka   jabatan   atau   pekerjaannya    untuk   menjalankan    ketentuan   peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2)      Larangan  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga terhadap ahli yang ditunjuk   oleh   Direktur   Jenderal   Pajak  untuk  membantu   dalam  pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3)      Menteri   Keuangan  berwenang  memerintahkan   secara  tertulis  kepada  pejabat sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) danahli- ahli sebagaimana dimaksuddalam ayat (2), supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari Wajib Pajak kepada Pejabat Pemeriksa untuk keperluan pemeriksaan Keuangan Negara. Surat Perintah tersebut di atas menyebutkan nama Wajib Pajak yang dikehendaki keterangannya dan nama pemeriksa.
(4)      Untuk   kepentingan   pemeriksaan   di   Pengadilan   dalam   perkara   pidana,   atas permintaan  Hakim   sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal   180  Undang-undang Nomor  8  Tahun  1981  tentang  Hukum  Acara  Pidana,  Menteri  Keuangan  dapat memberiizintertulis untuk memintakepada pejabat pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(5)      Permintaan  Hakim  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (4),  harus  menyebutkan nama tersangka, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara pidana yang bersangkutandengan keterangan yang diminta tersebut
Pasal 35
(1)      Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan diperlukan  keterangan  atau  bukti  dari  pihak  ketiga  yang  mempunyai  hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa, atas permintaan Direktur Jenderal Pajak pihak ketiga tersebut harus memberikan keterangan atau bukti yang diminta.
(2)      Dalam hal pihak ketiga yang bersangkutan tersebut terikat  oleh kewajiban untuk merahasiakan, kewajibanuntuk merahasiakan ituditiadakan oleh permintaan untuk keperluan  pemeriksaan  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 36
(1)      Direktur JenderalPajak dapat :
a.     mengurangkan atau menghapuskansanksi administrasi berupa bunga,denda, dan   kenaikan   yang   terhutang   menurut   ketentuan  peraturan  perundang- undangan perpajakandalam halsanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b.     mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidakbenar.
(2)      Tata cara pengurangan, penghapusan, atau pembatalan hutangpajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur oleh Menteri Keuangan.
Pasal 37
Perubahan besarnya sanksi administrasi berupa bunga, denda administrasi, dan kenaikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 38
Barang siapakarena kealpaannya :
a.        tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b.        menyampaikan  Surat  Pemberitahuan,  tetapi  yang  isinya  tidak  benar  atau  tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidakbenar;
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya  satu  tahun  dan/atau  denda  setinggitingginya  sebesar  dua  kali  jumlah pajak yang terhutang.
- 19 -
Pasal 39
(1)      Barang siapa dengan sengaja :
a.      tidak mendaftarkandiri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau
b.      tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;  dan/atau
c.      menyampaikan  Surat  Pemberitahuan  dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; dan/atau
d.     memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukanseolah-olah benar; dan/atau
e.      tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lainnya; dan/atau
f.      tidak menyetorkan pajak yang  telah dipotong atau dipungut  sehingga dapat menimbulkankerugian pada negara, dipidana dengan pidana penjaraselama- lamanya  tiga  tahun  dan  /atau  denda  setinggi-tingginya  sebesar  empat  kali jumlahpajak yang terhutang yang kurang atau yang tidak dibayar.
(2)      Ancaman  dana  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dilipat-  kan  dua  apabila seseorang melakukan lagitindak pidanadi bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan.
Pasal 40
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pasal 41
(1)      Pejabat  yang  karena  kealpaannya  tidak  memenuhi  kewajiban  merahasiakan  hal sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  34,  di-  pidana   dengan  pidana  kurungan selama-lamanya  enam  bulan  dan/atau  denda  setinggi-tingginya  Rp   1.000.000,- (satu juta rupiah).
(2)      Pejabat yang  dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal  34  dipidana  dengan  pidana  penjara  selama-lamanya  satu  tahun  dan/atau dendasetinggi-tingginya Rp 2.000.000,- (duajuta rupiah)
(3)      Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. Pasal 42
(1)      Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 41 ayat (1) adalah pelanggaran.
(2)      Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 41 ayat (2) adalah kejahatan.
Pasal 43
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39, berlakujuga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1)      Pejabat  Pegawai  Negeri  Sipil  tertentu  di  lingkungan  Direktorat  Jenderal  Pajak diberi  wewenang  khusus  sebagai  Penyidik  untuk  melakukan  penyidikan  tindak pidana  di  bidang  perpajakan,   sebagaimana  dimaksud  dalam  Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(2)      Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a.      melakukan  penelitian   atas  kebenaran   laporan  atau  keterangan  berkenaan dengantindak pidanadi bidang perpajakan;
b.     melakukan penelitian terhadap orang yang diduga   melakukantindak pidana di bidang perpajakan;
c.      meminta  keterangan  dan  bahan  bukti  dari  orang  atau  Badan  sehubungan dengan peristiwatindak pidanadi bidang perpajakan,
d.     melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan , dandokumen-dokumen lain berkenan dengan tindak pidanadi bidang perpajakan;
e.     melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang didugaterdapat bahan bukti pembukuan,  pencatatan,   dan   dokumen-   dokumen   lain   serta  melakukan penyitaan terhadap bahan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidanadi bidang perpajakan;
f.      meminta  bantuan  ahli  dalam  rangka  pelaksanaan  tugas  penyidikan  tindak pidanadi bidang perpajakan.
(3)      Penyidik   sebagaimana   dimaksud  dalam  ayat  (1)  memberitahukan  dimulainya penyidikandan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
Terhadap pajak-pajak yang terhutang pada suatu saat, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang berakhir sebelum saat berlakunya undang-undang ini, tetap berlakuketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.
Pasal 46
Dengan berlakunya undang-undang ini semua peraturan pelaksanaan dibidang perpajakan yang lama tetap berlakusepanjangtidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Pasal 47
Terhadap   penghasilan    kena   pajak    yang   diterima    atau    diperoleh   dalam    bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalambidang penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang  ini,  dikenakan pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Ketentuan  dalam  undang-undang  ini  berlaku  pula  bagi  undang-  undang  perpajakan lainnya, kecuali apabiladitentukan lain.
Pasal 50
Undang-undang ini mulai berlakupadatanggal 1 Januari 1984.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang- undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983
, TTD
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
TTD
SUDHARMONO, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 49
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
UMUM
1.        Peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku selama ini, sebagian besar merupakan warisan kolonial, yang pada saat itudibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi Pemerintah penjajahan dalam rangka mempertahankandan memperbesar kekuasaannya ditanah air kita.
Oleh karenanya pemungutan pajak saat itu dirasakan oleh rakyat  sebagai beban yang  berat,  sebab  baik  penetapan  jumlah  pajak,  jenis  pajak  maupun  tata  cara pemungutannya    dilaksanakan    di    luar   rasa    keadilan    tanpa   menghiraukan kemampuan serta menambah beban penderitaan danjauh dari pertimbangan dan penghargaan kepadahak asasi rakyat.
Pajak hanyalah merupakan kewajiban semata-mata yang harusdilaksanakan rakyat secara patuh.
Peraturan perundang-undangan perpajakan yang dibuat pada zaman pemerintahan penjajahan Belanda adalah antara lain: Aturan Bea Materai Tahun 1921, Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932, Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944.
Meskipun terhadap berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan  sisa-sisa kolonialtersebuttelah beberapa kali dilakukan upaya perubahandan penyesuaian, namun  karena  berbeda   falsafah  yang  melatarbelakanginya,  serta  sistem  yang melekat  kepada  undang-undang  tersebut,  maka  sepanjang  perpajakan  dilandasi ketentuan-ketentuan   perundang-undangan   tersebut,   belumlah   bisa   memenuhi fungsinya sebagai sarana yang dapat menunjangcita-cita Bangsadan Pembangunan Nasional yang sedangdilaksanakan sekarang ini.
2.  Memasuki  alam  kemerdekaan,  sejak  proklamasi   17  Agustus   1945,   terhadap berbagai  peraturan  perundang-undangan  di  bidang  perpajakan  telah  dilakukan perubahan, tambahandan penyesuaiansebagai upaya untuk menyesuaikanterhadap keadaan   dan    tuntutan   rakyat    dari    suatu   negara    yang   telah    memperoleh kemerdekaannya.Namun perubahan-perubahan tersebut dimasa lalu lebih bersifat parsial, sedangkan perubahan yang agak mendasar baru dilakukan melalui Undang- undang Nomor 8 Tahun  1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan, Pajak  Kekayaan  dan  Pajak  Perseroan,  yang  kemudian  pelaksanaannya   diatur dengan  Peraturan  Pemerintah Nomor  11  Tahun  1967  yang  selanjutnya  terkenal dengan  "sistem  MPS  dan  MPO".   Sistem  tersebut  merupakan  penyempurnaan sistempajak sesuaidengan tingkat perkembangan sosialekonomi Indonesia.
Meskipun   demikian,  upaya  yang  telah  dilakukan  untuk  mengubah  berbagai peraturan  perundang-undangan  perpajakan  tersebut,  belumlah  menjawab  secara fundamental tuntutan dan kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara mendasar.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dilandasi falsafah Pancasila dan  Undang-Undang  Dasar   1945,  yang  di  dalamnya  tertuang  ketentuan  yang menjunjung  tinggi  hak  warga  negara  dan  menempatkan  kewajiban  perpajakan sebagai  kewajiban  kenegaraan  dan  merupakan  sarana  peran  serta  rakyat  dalam bidang kenegaraan.
Petunjuk akan perlunya perubahan yang mendasar sebenarnya telah tertuang jelas sebagai amanat rakyat, seperti tersurat dan tersirat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara  yang  antara  lain  berbunyi   :"Sistem  perpajakan  terus  disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan dan aparat perpajakan harus makin mampu dan bersih".
3.        Oleh   karena   itu   undang-undang   ini   sebagai   suatu   undang-undang   dibidang perpajakan  yang  dilandasi  falsafah  Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar  1945, harus berbeda dengan undang- undang perpajakan yang dibuat dizaman kolonial. Perbedaan  tersebut  akan  nyata  terlihat  dalam  sistem  dan  mekanisme  serta  cara pandang  terhadap   Wajib  Pajak,  yang   tidak  dianggap  sebagai  "obyek",  tetapi merupakan  subyek  yang  harus  dibina  dan  diarahkan  agar  mau  dan  mampu memenuhikewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajibankenegaraan.Di segi lain tuntutan masyarakat terhadap adanya  "aparatur perpajakan yang makin mampu   dan    bersih",   dituangkan    dalam   berbagai    ketentuan   yang   bersifat pengawasan dalam undang-undang ini.
Perbedaan   falsafah   dan    landasan   yang   menjadi   latar   belakang   dan   dasar pembentukan   undang-undang   ini   tercermin   dalam   ketentuan-ketentuan   yang mengatur  sistem  dan  mekanisme  pemungutan  pajak:  Sistem  dan  mekanisme tersebut  pada  gilirannya  akan  menjadi  ciri  dan  corak  tersendiri  dalam  sistem perpajakan  Indonesia, karena kedudukan undang-undang  ini yang  akan menjadi "ketentuan umum" bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain.Ciri dan corak tersendiridarisistem pemungutanpajak tersebut adalah :
a.        bahwa    pemungutan   pajak    merupakan   perwujudan    dari   pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama- sama    melaksanakan    kewajiban    perpajakan    yang    diperlukan    untuk pembiayaan negara dan pembangunannasional;
b.        tanggung jawab  atas  kewajiban  pelaksanaan  pajak,  sebagai  pencerminan kewajiban  dibidang  perpajakan  berada  pada  anggota  masyarakat  Wajib Pajak sendiri.
Pemerintah,  dalam  hal  ini  aparat  perpajakan  sesuai  dengan  fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskandalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
c.        anggota    masyarakat    Wajib    Pajak    diberi    kepercayaan   untuk    dapat melaksanakan   kegotongroyongan   nasional   melalui   sistem   menghitung, memperhitungkan   dan   membayar   sendiri   pajak   yang   terhutang   (self assessment),    sehingga    melalui    sistem    ini    pelaksanaan    administrasi perpajakan  diharapkan  dapat  dilaksanakan  dengan  lebih  rapi,  terkendali, sederhana dan mudahuntuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.
Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak diwajibkan menghitung,   memperhitungkan,   dan    membayar   sendiri   jumlah   pajak   yang seharusnya  terhutang   sesuai   dengan  ketentuan-peraturan  perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada  Wajib  Pajak   sendiri.Selain  daripada  itu  Wajib  Pajak  diwajibkan  pula melaporkan  secara  teratur jumlah  pajak yang  terhutang  dan  yang  telah  dibayar sebagaimana ditentukandalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dengan sistem ini diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit- belit  dan  birokratis  akan  dihilangkan.Ciri  dan  corak  sistem  pemungutan  pajak tersebut sangat berbeda dengan sistem lama warisan zaman kolonial yang antara lain :
a.        tanggung  jawab  pemungutan  pajak  terletak   sepenuhnya  pada  penguasa pemerintahan  seperti  yang  tercermin  dalam  sistem penetapan  pajak yang keseluruhannya menjadi wewenang administrasi perpajakan;
b.       pelaksanaan kewajiban perpajakan, dalambanyakhal sangattergantung dari pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan, hal mana mengakibatkan anggota masyarakat Wajib Pajak kurang mendapat pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakannya dan kurang ikut berperan  serta dalam memikul beban negara dalam mempertahankan kelangsungan pembangunannasional.
Jelaslah bahwasistem pemungutanpajak yang ditentukan menurut Undang-undang ini,  memberi  kepercayaan  lebih  besar  kepada  anggota  masyarakat  Wajib  Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi   Wajib   Pajak   lebih   diperhatikan,   dengan   demikian   dapat   merangsang peningkatan kesadaran dan tanggungjawab perpajakandi masyarakat.
Tugas  administrasi  perpajakan  tidak  lagi  seperti  yang  terjadi  pada  waktu  yang lampau,  dimana  administrasi  perpajakan  meletakkan  kegiatannya  pada  tugas merampungkan/menetapkan semua Surat
Pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang seharusnya dibayar, tetapi menurut ketentuan undang-undang ini administrasi perpajakan,   berperan    aktif   dalam   melaksanakan    pengendalian   administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi.
Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain  pemberian  penyuluhan  pengetahuan  perpajakan  baik  melalui  media  masa maupun penerangan langsung dalam masyarakat.
4.        Dengan landasan sebagaimana telah diuraikan dimuka, sebagai suatu uraian yang utuh dan menyeluruh, serta sesuaidengan amanat yang tersurat dantersiratdalam Garis-garis Besar Haluan Negara, maka diadakan pembaharuan sistem dan hukum perpajakan   di    Indonesia,   yang    dituangkan   dalam    Undang-undang   tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Perubahan  tersebut  diharapkan  dapat  menunjang  sepenuhnya  laju pembangunan dan mempercepat terwujudnya perataan pendapatan masyarakat, peningkatan serta perluasan tingkat kesadaran kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan obyek kena  pajak  dan  peningkatan  penerimaan  negara  sejalan  dengan  perkembangan Pembangunan Nasional  sehingga mempercepat terwujudnya cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Dalam pasal ini memuat perumusan mengenai pengertian istilah perpajakan yang dipergunakan dalam undang-undang ini.
Dengan  adanya  pengertian  tentang  istilah-istilah  tersebut  dapat  dicegah  adanya salah  pengertian   atau  salah  penafsiran   dalam  melaksanakan  pasal-pasal  yang bersangkutan,  sehingga  dapat  mencapai  kelancaran  dan  kemudahan  baik  bagi Wajib Pajak maupun bagi aparatur dalam melaksanakan kewajibannya dan pada akhirnya dicapai tertibnya administrasi perpajakan.
Pengertian ini diperlukan, karena mengandung hal yang bersifat teknis dan baku, khususnya dalambidang perpajakan.
Pasal 2
Semua Wajib Pajak berdasarkan sistem self assessment harus mendaftarkan dirinya pada Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Nomor  Pokok  Wajib  Pajak  tersebut  adalah  suatu  sarana  dalam  administrasi perpajakan yang  dipergunakan  sebagai tanda pengenal  diri  atau  identitas Wajib Pajak.Dengan diperolehnya Nomor Pokok Wajib Pajak, berarti Wajib Pajak telah terdaftar di Direktorat JenderalPajak.
Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut selain dipergunakan untuk mengetahui identitas  Wajib  Pajak yang  sebenarnya, juga berguna untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak  dan  dalam pengawasan  administrasi perpajakan.Setiap Wajib Pajak dalam hal yang berhubungan dengan dokumen perpajakan diharuskan mencantumkan  Nomor  Pokok  Wajib  Pajak  yang  dimilikinya.  Terhadap  Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan dikenakansanksi pidana.
Pasal 3
Ayat (1)
Fungsi Surat Pemberitahuan (untuk selanjutnya disebut SPT) adalah sebagai sarana   Wajib   Pajak  untuk  melaporkan   dan  mempertanggungjawabkan penghitunganjumlahpajak yang sebenarnya terhutang dan laporan tentang pemenuhan pembayaran pajak yang telah dilaksanakan sendiri dalam satu Tahun  Pajak  atau  Bagian  Tahun  Pajak  dan  laporan  pembayaran  dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan/pemungutanpajak orang atau badan lain dalam satu Masa Pajak yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan  perpajakan.  Setiap  Wajib  Pajak  wajib  mengambil sendiri SPT yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, mengisi, menghitung dan memperhitungkan sendiripajak yang terhutanguntuk satu Masa  Pajak  dalam   SPT,  dan  menyampaikan   SPT  yang  telah  diisi  dan ditandatanganinya  ke  Direktorat  Jenderal  Pajak  dalam  batas  waktu  yang ditentukan. Yang dimaksud dengan mengisi SPT adalah, mengisi formulir SPT  secara  benar, jelas,  lengkap  sesuai  dengan  petunjuk  yang  diberikan mengenai penghitunganjumlahpajak yang terhutangberdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengisian SPT yang tidakbenar yang  berakibat  timbulnya  kerugian  bagi  negara  akan  dikenakan   sanksi pidana  berdasarkan  Pasal  38  dan  Pasal  39  dalam  undang-undang   ini. Demikian   pula    keterlambatan   atau    tidak   menyampaikan    SPT    akan dikenakansanksi administrasi berupadenda.
Ayat (2)
Dalam   rangka   pelayanan   dan   kemudahan   bagi   Wajib   Pajak   formulir   SPT disediakan pada Kantor-kantor dilingkungan Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pos dan  Giro,  Kantor  Pos  Pembantu,  dan  tempat-tempat  lain  yang  ditentukan  oleh Direktur JenderalPajak dan yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat  ini  mengatur  tentang  batas  waktu  pemasukan  SPT.  SPT  dapat  dibedakan menjadi dua, yaitu SPT Masa untuk melaporkan pembayaran masa yang dilakukan oleh Wajib Pajak, dan SPT Tahunan untuk memberitahukan besarnya pajak yang terhutang dari penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak dalam satu Tahun Pajak.
Batas waktu tersebut dalam Pasal  3 ayat  (3) huruf a dan b adalah batas waktu terakhir. Batas waktu tersebut dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan   segala   sesuatu  yang  berhubungan  dengan  pembayaran  pajak maupun penyelesaian pembukuannya.
Ayat (4)
Apabila    Wajib     Pajak    baik     orang     atau    Badan     ternyata    tidak     dapat menyelesaikan/menyiapkan  laporan  keuangan  tahunan  atau  neraca  perusahaan beserta  daftar rugi  laba  dalam jangka waktu tiga bulan benar-benar mengalami kesulitan, karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis pembuatan
memerlukan  kelonggaran  dari  batas  waktu  yang  telah  ditentukan,  Wajib  Pajak berhak  untuk  mengajukan  permohonan  agar  memperoleh  perpanjangan  waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5)
Untuk   mencegah   usaha   penghindaran    diri    dan/atau   perpanjangan   waktu pembayaran  pajak  yang  terhutang  dalam  satu  Tahun  Pajak  yang  harus  dibayar sebelum   batas   waktu   pemasukan    SPT   Tahunan,   perlu   kiranya    ditetapkan persyaratan khusus  dan menetapkan  sanksi  administrasi berupa pungutan bunga bagi Wajib Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Persyaratan  khusus  tersebut  berupa  keharusan  memberikan  pernyataan  tertulis tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan  sementara dalam satu Tahun Pajak, sebagai lampiran Surat Permohonan penundaan kewajiban penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (6)
Karena  SPT  itu  merupakan  alat  penelitian  atas  kebenaran  penghitungan  pajak terhutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak, maka lampiran tersebut merupakan bagian  dari  SPT  dan  merupakan  persyaratan  mutlak  yang  harus  dipenuhi  oleh Wajib Pajak.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Untuk  kepentingan  tertib  administrasi  perpajakan  dan  untuk  menjaga  disiplin Wajib   Pajak,   bagi    Wajib   Pajak    yang   tidak   mematuhi    kewajiban   formal menyampaikan SPT sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, dikenakan sanksi berupa  denda  administrasi  yang  ditetapkan  sebesar  Rp   10.000,-(sepuluh  ribu rupiah).
Pasal 8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam pengisian SPT yang dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak untuk melakukan pembetulan  sendiri, dengan syarat   Direktur   Jenderal   Pajak   belum    mengetahui    tentang    adanya ketidakbenaran dalam SPT yang telah disampaikan atau belum menugaskan petugasnya untuk memulaitindakan pemeriksaan.
Ayat (2)
Dengan   adanya    pembetulan   sendiri    SPT    tersebut   membawa    akibat penghitungan   jumlah   pajak   yang   terhutang    dan   jumlah   perhitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari jumlah semula. Atas kekurangan pembayaran  pajak  sebagai  akibat  pembetulan  tersebut  dikenakan  sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
Bunga yang terhutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai  dari  berakhirnya   batas  waktu  penyampaian   SPT  sampai  dengan tanggal  pembayaran  karena  adanya  pembetulan  SPT  tersebut.  Apabila terdapat   kelebihan   pembayaran    pajak   dalam    melakukan   pembetulan tersebut,   Wajib   Pajak    dapat   mengajukan    permohonan   pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran sebagaimana di- maksud dalam Pasal  38,  sepanjang  belum  dilakukan  tindakan  penyidikan  oleh  petugas perpajakan, sekalipuntelah dilakukan pemeriksaan terhadapnya dan Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan  sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terhutang besertadenda administrasisebesar dua kali dari  jumlah  pajak  yang  kurang   dibayar,  maka  terhadapnya  tidak   akan dilakukan penyidikan.Namun bilamana telah dilakukantindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, maka  kesempatan  untuk  membetulkan  sendiri  sudah  tertutup  bagi  Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran masa ditentukan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu  tidak  boleh  melebihi  lima belashari setelah saat terhutangnya
atau  berakhirnya  Masa  Pajak.  Keterlambatan  dalam  pembayaran  masa tersebut berakibat dikenakannya sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
Ayat (2)
Sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal  3  ayat(3)huruf b Wajib Pajak wajib menyampaikan SPT Tahunan dalam waktu tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak.Jika  pada  waktu  pengisian   SPT  tersebut  ternyata  masih  terdapat kekurangan    pembayaran    pajak    yang    terhutang,     maka    kekurangan pembayaran pajak tersebut harus dibayar lunas sebelum SPT Tahunan itu disampaikan,  misalnya  SPT  harus  disampaikan  pada  tanggal  31  Maret, kekurangan pembayaran pajak yang terhutang atau  setoran terakhir harus sudah dilunasi sebelum SPT disampaikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Direktur  Jenderal  Pajak  dapat  memperkenankan  penundaan  pembayaran pajak  yang  terhutang,  meskipun  tanggal  jatuh  tempo  pembayaran  telah ditentukan.Kelonggaran  tersebut  diberikan  dengan  hati-hati  dan  terbatas kepada   Wajib   Pajak  yang  benar-  benar   sedang  mengalami  kesulitan likwiditas. Dipersyaratkan  untuk mendapatkan kelonggaran tersebut, Wajib Pajak  harus  mengajukan  permohonan  tertulis  disertai  alasan-alasan  yang dapat dipertanggungjawabkandan meyakinkan.
Pasal 10
Ayat (1)
Direktorat Jenderal Pajak tidak diperbolehkan menerima setoran pajak dari Wajib Pajak.Semua penyetoran pajak-pajak negara, harus disetorkan di Kas Negara atau tempat-tempat pembayaran lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, seperti yang selama ini telah ditetapkan yakni di Kantor Pos dan Giro dan dibeberapa Bank Pemerintah. Dengan usaha memperluas tempat- tempat   pembayaran   pajak   yang   mudah   dijangkau   oleh   Wajib   Pajak, dimaksudkan    untuk    mempermudah    Wajib    Pajak    dalam    memenuhi kewajibannya,  sekaligus  menghindarkan  adanya  rasa  keengganan  dalam melaksanakan pembayaran pajak.
Ayat (2)
Dengan adanya penentuan tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak dan pelaporannya yang  akan  ditentukan  dengan Peraturan Menteri Keuangan, demikian juga mengenai tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak,diharapkan akandapat mempermudahpelaksanaan pembayaran pajak dan mempermudah penampungan administrasinya.
Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terhutang denganjumlahpajak yang telah dibayar menunjukkan jumlah selisihlebih (jumlah  pajak  yang  telah   dibayar  lebih  besar   dari  jumlah  pajak  yang terhutang),   Wajib    Pajak   berhak    untuk   meminta    kembali   kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai hutangpajak lain.
Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai hutang pajak lainnya yang belum dilunasi, kelebihan pembayaran tersebut harusdiperhitungkan lebih dahulu dengan hutangpajak tersebut dan bilamana masihterdapat sisalebih, baru dapat dikembalikan
kepada  Wajib  Pajak.  Untuk  memperoleh  kembali  kelebihan  pembayaran tersebut,  Wajib  Pajak  harus  mengajukan  permohonan  tertentu  kepada Direktur JenderalPajak atau pejabat yang ditunjuknya.
Ayat (2)
Untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan menjamin ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian oleh Direktur Jenderal Pajak  ditetapkan  dalam jangka waktu  selama-lamanya  satu  bulan  setelah Surat  Keputusan  Kelebihan  Pembayaran  Pajak  ditetapkan  oleh  Direktur JenderalPajak.
Ayat (3)
Untuk  terciptanya  keseimbangan  hak  dan  kewajiban  bagi  Wajib  Pajak dengan  kecepatan  pelayanan  oleh  Direktorat  Jenderal  Pajak,  ayat  ini menentukan, bahwa atas setiapkelambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu tersebut pada ayat(2), kepada Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan oleh Pemerintah berupa bunga sebesar 2%  (dua persen) per bulan,  dihitung  sejak  saat berlakunya batas waktu  satu  bulan  sampai  saat  dilakukan  pembayaran.   Yang  dimaksud dengan saat dilakukan pembayaran kelebihan pembayaran pajak adalah saat Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) diterbitkan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Pada  prinsipnya  pajak  terhutang  pada  saat  timbulnya  obyek  pajak  yang  dapat dikenakan, pajak.Saat terhutangnya pajak tersebut adalah :
a.        Pada Suatu Saat,untukPajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b.        Pada Akhir Masa, untuk Pajak Penghasilan karyawan yang  dipotong oleh
pemberikerja, atau oleh pihak lain atas kegiatanusaha, atau oleh pengusaha atas  pemungutan  Pajak  Pertambahan  Nilai  Barang  dan  Jasa  dan  Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
c.        Pada akhir Tahun Pajak,untukPajak Penghasilan.
Jumlah pajak terhutang yang telah dipotong, dipungut, ataupun yang harus dibayar  sendiri  oleh  Wajib  Pajak  setelah  tiba  saat  atau  masa  pelunasan pembayaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 dan Pasal  10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke Kas Negara atau tempat lain yang telahditentukan.
Berdasarkan   undang-undang   ini   Direktorat   Jenderal   Pajak   tidak   lagi berkewajiban untuk menerbitkan  Surat  Ketetapan  Pajak  atas  keseluruhan SPT Wajib Pajak. Penerbitan sesuatu Surat Ketetapan Pajak hanya terbatas pada  Wajib  Pajak  tertentu  yang  disebabkan  oleh  ketidakbenaran  dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Pasal 13
Ayat (1)
Ketentuan  ayat  ini  memberi  wewenang  kepada  Direktur  Jenderal  Pajak untuk  dapat  menerbitkan  Surat  Ketetapan  Pajak,  yang  pada  hakekatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu seperti tersebut dalam ayat ini, atau tegasnya  hanya  terhadap  Wajib  Pajak  tertentu  yang  nyata-nyata  atau berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan kewajiban material.
Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut, dibatasi sampaidengan kurunwaktulima tahunsaja.
Menurut ketentuan ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajakbaru diterbitkan bilamana  Wajib  Pajak  tidak  membayar  pajak   sebagaimana  mestinya menurut      ketentuan      peraturan      perundang-undangan      perpajakan. Diketahuinya  bahwa  Wajib  Pajak  tidak  atau  kurang  membayar  pajak, adalah   karena    dilakukan   pemeriksaan    terhadap   Wajib   Pajak    yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak kurang  membayar  dari jumlah  yang  seharusnya  terhutang.  Pemeriksaan dapat  dilakukan  di  tempat  Wajib  Pajak  dengan  sifat  pemeriksaan  buku lengkap atau melalui penelitian administrasi perpajakan.
Surat Ketetapan Pajak dapat juga ditebitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri,  dari  data  mana  dapat  dipastikan  (bukan  dugaan),  bahwa  Wajib Pajak tidak memenuhikewajiban pajaknya sebagaimana mestinya.
Untuk  memastikan  kebenaran   data   itu,  terhadap  Wajib  Pajak  dapat dilakukan pemeriksaan.
SPT yang tidak disampaikan padawaktunya, walaupuntelah ditegor secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam  Surat Tegoran itu, menurut ketentuan ayat (1) huruf b membawa akibat, bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak  secara  jabatan.  Terhadap  ketetapan  seperti  ini  dikenakan  sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam ayat (3)Tegoran  itu  antara  lain  dimaksudkan  pula  untuk  memberi  kesempatan kepada Wajib Pajak yang beritikadbaik, untuk menyampaikanalasan atau sebab-sebab  tidak  dapatnya  SPT  disampaikan  apabila  karena  terjadinya sesuatu haldi luarkemampuan (force mayeur).
Dalam hal SPT disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Tegoran dan pajak yang terhutang dilunasi sebagaimana mestinya, Surat Ketetapan Pajak tidak akan diterbitkan dengan anggapan bahwa SPT tersebut  telah  diisi  dengan  benar  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi  Wajib  Pajak  yang  dengan  sengaja  melakukan  pelanggaran  dalam kewajiban perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, berupa pelaksanaan kompensasi selisih  lebih  pembayaran  pajak,  tarif  O%  (nol  persen)yang  semestinya bukan O% (nolpersen), pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak perlu terjadi seperti tersebut dalam ayat (1) huruf c, dikenakan sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak ditambah kenaikan sebesar lOO% (seratus persen).
Bagi  Wajib  Pajak  yang   tidak  menyelenggarakan  pembukuan  menurut ketentuan  Pasal  28  Undang-undang  ini  atau  pada  saat  diperiksa  tidak memenuhi  permintaan  menurut  Pasal  29  ayat  (2),  sehingga  Direktur Jenderal Pajak tidak dapat mengetahui keadaan usaha Wajib Pajak yang sebenarnya   dan   berakibat   tidak   dapat   dihitung   jumlah   pajak   yang seharusnya    terhutang,    maka    Direktur     Jenderal    Pajak    berwenang menerbitkan  Surat Ketetapan Pajak dengan penghitungan secara jabatan, yaitu  penghitungan  pajak  yang  didasarkan  pada  data  yang  tidak  hanya diperoleh  Wajib  Pajak  saja.Sebagai  konsekwensinya  beban  pembuktian atas uraian perhitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur JenderalPajak, diletakkan pada WajibPajak.
Sebagai contoh diberikan antara lain :
1)   pembukuan   sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  28  ayat  (4)tidak lengkap,sehingga penghitungan rugilaba atau peredaran tidakjelas;
2)   dokumen-dokumen  pembukuan  tidak  lengkap  sehingga  angka-angka dalam pembukuantidak dapat diuji;
3)   darirangkaian penelitiandan fakta-fakta yang diketahui besar dugaan disembunyikannya  dokumen  atau  barang  bukti  lain  di  suatu  tempat tertentu,  sehingga dari  sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan  itikad  baiknya  untuk  membantu  kelancaran  jalannya pemeriksaan.
Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib   Pajak,   karena   melanggar   kewajiban   perpajakan    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a.  Sanksi administrasi perpajakan dalam ayat  ini  berupa  sanksi  bunga  yang  dituangkan  dalam  Surat  Ketetapan Pajak.
Contoh :
Seorang  Wajib  Pajak  Penghasilan  yang  mempunyai  tahun  buku   sama dengan tahun takwim memasukkan SPT Tahunan untuk tahun 1984 tepat padawaktunya yang disertaidengan setoran akhir. Pada bulan April 1987 dikeluarkan  Surat Ketetapan Pajak yang menunjukkan kekurangan pajak yang terhutangsebesar Rp 1.000.000,-(satu juta rupiah).
Berdasarkan ketentuan ayat ini maka atas kekurangan tersebut dikenakan bunga 2%(dua persen) sebulan. Walaupun Surat Ketetapan Pajak tersebut diterbitkan  lebih  dari  dua  tahun  sejak  berakhirnya  Tahun  Pajak,  bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa dua tahun dengan perhitungansebagai berikut :
- Kekurangan pajak yang terhutang ... = Rp. 1.000.000,-
- Bunga 2 tahun = 2% x 2 x 12 x  Rp. 1.000.000,-  = Rp.  480.000,-
Masih harus dibayar  = Rp. 1.480.000,-
Seandainya  Surat  Ketetapan  Pajak  tersebut  diterbitkan  bulan  Mei  1986 maka perhitungannya adalahsebagai berikut:
- Kekurangan pajak yang terhutang = Rp. 1.000.000,-
- Bunga 17 bulan = 2% x 17 x
Rp. 1.000.000,-     = Rp.  340.000,-
Masih harus dibayar= Rp. 1.340.000,-
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu Ketetapan Pajak, karena melanggar kewajiban perpajakan,  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf  b,  huruf  c,   dan  huruf  d.   Sanksi   administrasi  demikian  berupa "kenaikan", yaitu suatu jumlah proporsional yang harusditambahkan pada jumlahpajak yang harusditagih.
Besarnya sanksiadministrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang  dibayar  sendiri  oleh Wajib Pajak sanksi kenaikan sebesar 50%(lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang dipotong oleh orang/badan lain  sanksi kenaikan sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai  Barang  dan  Jasa  dan  Pajak  Penjualan  atas  Barang  Mewah  sanksi kenaikan sebesar 100%(seratus persen).
Ayat (4)
Yang dimaksud denganpajak yang "dikreditkan" ialahjumlah pengurangan pajak yang terdiri dari:
1.   pajak yang dipotong oleh pihak ketiga;
2.   pajak yang dipungut oleh pihak ketiga;
3.   pajak yang dibayar sendiri;
4.   pajak yang ditagih dalam Surat Tagihan Pajak (STP);
5.   pajak yang terhutangdi luar negeri.
Jumlah pengurangan tersebut dikurangkandaripajak yang terhutang.
Contoh :
Surat Ketetapan Pajak Penghasilan (SKP PPh).
1.   Pajak yang terhutang :           Rp. 1000.000,-
2.   Pengurangan-pengurangan :  a.           Pajak yang dipotong
oleh pemberikerja Rp.  150.000,-
b.           Pajak yang dibayar sendiri (setoran
masa) Rp.  400.000,-
c.           Pajak yang ditagih dalam STP (tidak
termasuk bunga dan
denda) Rp.   75.000,-
d.           Pajak yang ditagih
di luar negeri Rp.  100.000,-
Jumlahpajak yang dikreditkan Rp.  725.000,-
Jumlahpajak yang dikreditkan          Rp. 725.000,-
Ayat (5)
Sanksi administrasi berupa bunga, denda administrasi, dan kenaikan, tidak dapat  diperhitungkan  atau  dikreditkan  terhadap jumlah  pajak  terhutang. Dengan   demikian,    1    dalam   hal    akan   dilakukan    perhitungan   atau pengembalian  kelebihan  pembayaran  pajak,  jumlah  sanksi  administrasi perpajakan yang telahdibayar harus dikeluarkan lebih dahuludarijumlah kelebihan pembayaran yang akan diterima oleh Wajib Pajak.
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para Wajib Pajak, berkenaan  dengan  pelaksanaan  pemungutan  pajak  dengan  sistem  "self assessment", maka apabiladalamwaktu lima tahunsejak saat terhutangnya pajak,  berakhirnya  Masa  Pajak,  Bagian  Tahun  Pajak  atau  berakhirnya Tahun  Pajak,  Direktorat  Jenderal  Pajak  tidak  juga  menerbitkan   Surat Ketetapan  Pajak,  maka  jumlah  pembayaran   pajak  yang   diberitahukan dalam SPT Masa atau SPT Tahunan pada hakekatnya telah menjadi tetap dengan   sendirinya   atau   telah   menjadi  pasti   karena   hukum  menurut ketentuan  peraturan  perundang-undangan  perpajakan.  Dengan  demikian, SPT Wajib Pajak yang bersangkutan telah merupakan ketetapan yang tetap dantidak akan diubah (rampung).
Ayat (7)
Dalam  hal  Wajib  Pajak,  dipidana  karena  melakukan  tindak  pidana  di bidang perpajakan mengenaipajak yang penagihannya telah lewatwaktu, berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Surat Ketetapan Pajak masihdibenarkan untuk diterbitkan, meskipun jangka  waktu  lima  tahun  sebagaimana  ditentukan  dalam  ayat(1)telah dilampaui.  Dengan  adanya  putusan  Pengadilan  yang  telah  memperoleh kekuatanhukum tetap tersebut, terungkapadanya data fiskal yang selama itusengajatidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini dipersamakan kekuatan hukumnya dengan  Surat  Ketetapan  Pajak,  sehingga  dalam  hal  penagihannya  dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Pasal 15
Ayat (1)
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak yang   ternyata   telah    ditetapkan   lebih   rendah,    atau   telah    dilakukan pengembalian  pajak  yang  tidak  seharusnya,  atau  pada  waktu  dilakukan penetapan  dalam  bentuk  Keputusan  Kelebihan  Pembayaran  Pajak,  atau penerbitan   Surat  Pemberitaan,  undang-undang  ini  masih  memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Ketetapan Pajak Tambahan dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terhutang pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian  Tahun Pajak  atau  Tahun Pajak. Surat Ketetapan Pajak Tambahan merupakan koreksi atas Surat Ketetapan Pajak sebelumnya.
Surat  Ketetapan  Pajak  Tambahan  baru  diterbitkan  apabila  sebelumnya telah pernah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak.Dengan perkataan lain Surat Ketetapan  Pajak  Tambahan  tidak  akan  mungkin  diterbitkan  sebelum didahului dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak.
Ayat ini tidak hanya mensyaratkan harus adanya data baru (novum) dalam penerbitan Surat Ketetapan Pajak Tambahan.
Dalam hal  masih  ditemukan  lagi  data  yang  belum  terungkap pada  saat diterbitkannya  Surat  Ketetapan  Pajak  Tambahan,  atau  baru  diketahui, kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak Surat Ketetapan Pajak Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukantindak pidana di bidang perpajakan   mengenai   pajak    yang   penagihannya   telah    lewat   waktu berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,    Surat   Ketetapan    Pajak    Tambahan   masih    dibenarkan    untuk diterbitkan,  meskipun jangka  waktu  lima  tahun  sebagaimana  ditentukan dalam Pasal 15 ayat(1)telah dilampaui. Dengan adanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatanhukum tetap tersebut, terungkap adanya data fiskal yang selama itusengajatidak dilaporkan Wajib Pajak.
Pasal 16
Apabila terjadi kesalahan tulis, kesalahan hitung atau kekeliruan dalam surat ketetapan pajak seperti salah ketik, salah dalam jumlah, salah penerapan tarif, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan atau atas permintaan Wajib Pajak, dapat membetulkan  Surat  Ketetapan  Pajak/Surat  Ketetapan  Pajak  Tambahan yang salah atau keliru tersebut.
Pengertian   membetulkan   dalam    ayat   ini   bisa   berarti   menambah,    atau mengurangkan  atau  menghapuskan,  tergantung  pada  sifat  kesalahan  atau kekeliruannya,
Pasal 17
Ayat (1) huruf a.
Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKKPP) dapat diterbitkan, setelah oleh Direktur Jenderal Pajak diadakan penelitian atau pemeriksaan dengan  maksud  untuk  memastikan  dan  memberikan  keyakinan,  bahwa memang  benar-benar  terdapat  kelebihan  pembayaran  atas  jumlah  pajak yang terhutang.
Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak tersebut harus diterbitkan dalam jangkawaktu paling lama duabelas bulan setelah surat permohonan diterima. Dengan batas waktu tersebut, selain memperhatikan kepentingan kepastian   hukum   bagi   Wajib   Pajak,  juga   dimaksudkan   pula   untuk kepentingantertib administrasi perpajakan.
Ayat (1) hurufb.
Surat Pemberitaan dapat diterbitkan setelah oleh Direktur Jenderal Pajak diadakan penelitian atau pemeriksaan dengan maksud untuk memastikan dan memberikan keyakinanbahwa memang benar-benarjumlahpajak yang dibayar  oleh  Wajib  Pajak  dan  yang  telah  dipotong/dipungut  oleh  pihak ketiga sama besarnya denganjumlahpajak yang terhutang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pada dasarnya besarnya hutang pajak dihitung sendiri oleh Wajib Pajak. Baru apabila kemudian ternyata terdapat kekeliruan atau kesalahan Wajib Pajak  dalam melakukan penghitungan pajak yang  terhutang  atau  Wajib Pajak melanggarketentuan yang diaturdalam undang-undang perpajakan, Direktur  Jenderal  Pajak  dapat  menerbitkan  Surat  Tagihan  Pajak,  Surat Ketetapan Pajak atau  Surat Ketetapan Pajak Tambahan. Ketiga surat ini merupakan   sarana   administrasi   bagi   Direktur   Jenderal   Pajak   untuk melakukan  penagihan  pajak.  Dalam  hal  tagihan  pajak  tersebut  tidak dibayar  pada  tanggal  jatuh  tempo  yang  telah  ditetapkan,  penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa.
Ayat (2)
Untuk tertibnya dan keseragaman tindakandalam melaksanakan penagihan pajak, Menteri Keuangan akan mengatur tata caranya
termasukaspek administrasibaik mengenaitindakan penagihan itusendiri maupun aspek pelaksanaan pembayaran atas tagihan pajak.
Pasal 19
Ayat (1)
Ayat ini mengatur pengenaan bunga  atas pajak yang tidak dibayar  atau kurangdibayar pada saat jatuh tempo pembayaran atau terlambat dibayar. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai berikut :
1.   Atas   jumlah  pajak  yang  kurang   dibayar.   Surat   Ketetapan  Pajak Penghasilan (SKP PPh) Pajak terhutang atau ditagih (dianggap tidak ada jumlah pajak yang dikreditkan)  : Rp.  100.000,-  SKP  diterbitkan tanggal 10 Oktober 1985.
Harus dilunasi paling lambat tanggal  10 Nopember  1985, tetapi baru dibayar SejumlahRp.60.000,- pada tanggal 1 Nopember 1985.
Sampai pada tanggal batas waktu pembayaran (1O Nopember  1985) terakhir sisa tagihantidak dibayar lagi oleh Wajib Pajak.
ajak oleh
Bunga
Dihitung satu bulan =
1 x 2% x Rp. 40.000,- = Rp. 800,-    Bunga tersebut ditagih dengan STP.
2.   Atas jumlahpajak yang terlambat dibayar. Dasarnya sama dengan contoh nomor 1.
Dibayar penuhtetapi terlambat, misalnya dibayar tanggal 20 Nopember
1985. Tanggal 24 Nopember 1985 diterbitkan STP.
Bunga terhutang dalam Surat Tagihan Pajak dihitung satu bulan = 1 x 2% x Rp. 100.000,- = Rp. 2.000,-
3.   Atas jumlahpajak yang kurang danterlambat dibayar. Dasarnya sama dengan contoh nomor 1.
Dibayar sejumlahRp. 60.000,-pada tanggal 20 Nopember 1985. Tanggal 24 Nopember 1985 diterbitkan STP.
Bungaterhutang dihitung satu bulan =
1 x 2% x Rp. 100.000,- = Rp. 2.000,-
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Dalam hal terjadi suatu peristiwa atau keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal  ini,  maka  untuk  menjaga  kemungkinan  terjadinya  sesuatu  yang  akan mengakibatkanpajak yang terhutangtidak dapat ditagih, tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran  dalam  Surat  Tagihan  Pajak,  Surat  Ketetapan  Pajak  atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan, penagihannya dapat dilakukan seketika dan sekaligus.
Pasal 21
Ayat (1)
Ayat  ini menetapkan kedudukan Negara  sebagai  kreditur preferen yang dinyatakan  mempunyai  hak  mendahulu  atas  barang-barang  milik  Wajib Pajak,  dan barang-barang milik wakilnya  akan  dilelang  di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2). Dalam hal telah dilakukan tindakan penagihan  sampai kepada tindakan penagihan  aktif,  seterusnya pelelangan di muka umum atas barang-barang milik Wajib Pajak, tetapi hasil  dari  pelelangan  di  muka  umum  barang-barang  milik  Wajib  Pajak tersebut  belum  cukup  untuk  melunasi  hutang  pajaknya,  maka  barang- barang milikwakilnya, sepanjang dalam kedudukannya bertanggung jawab untuk itu, akandisitadandilelang di muka umum untuk melunasi hutang pajak Wajib Pajak.
Setelah  hutang  pajak   dilunasi  baru   diselesaikan  pembayaran  kepada kreditur lainnya. Maksud dari ayat ini adalahuntuk memberikesempatan pada Pemerintahuntuk mendapatkan pembagian lebih dahuludarikreditur lain atas hasil pelelangan barang-barang milik Wajib Pajak atau wakilnya di muka umum guna menutupi atau melunasitunggakan pajaknya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada ayat ini ditegaskan bahwa hak mendahulu ini melebihi  segala hak lainnya, artinya lebih kuat dari hak lainnya kecuali terhadap pihak-pihak sebagaimana dimaksuddalam :
1.   Pasal   1139   angka   1   Kitab  Undang-undang  Hukum  Perdata  yang berbunyi  :"biaya perkara yang  semata-mata  disebabkan karena  suatu penghukuman  untuk  melelang   suatu  barang  bergerak  maupun  tak bergerak. Biaya ini dibayar dari hasil penjualan benda-benda tersebut terlebih dahulu daripada semua piutang lainnya yang diistimewakan, bahkan lebih dahulupuladaripadagadaidan hipotik".
2.   Pasal   1139   angka   4  Kitab  Undang-undang  Hukum  Perdata  yang berbunyi  :"biaya yang telah  dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang".
3.   Pasal   1149   angka   1   Kitab  Undang-undang  Hukum  Perdata  yang berbunyi   :"biaya   perkara,    yang   semata-mata   disebabkan   karena pelelangan  dan  penyelesaian   suatu  warisan;  biaya  ini  didahulukan daripada gadaidan hipotik".
4.   Pasal   80   dan   Pasal   81   Kitab   Undang-undang   Hukum   Dagang, mengenai hak tagihan seorang komisioner.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Pada  dasarnya  pelaksanaan  penagihan  pajak  daluwarsa  dalam  waktu  lima tahun, tetapidapatsaja melebihi lima tahunapabila :
1.   telah dikeluarkan Surat Tegoran dan Surat Paksa;
2.   adanya pengakuan Wajib Pajak secara langsung atau tidaklangsung antara lain :
a.    dilakukan pembayaran hutangpajak itu;
b.   diajukan permohonan penundaan pembayaran;atau
c.    diadakannya pengangsuran pembayaran.
Dalam hal demikian kedaluwarsaan penagihan piutang pajak dihitung dari saat terjadinya peristiwa-peristiwatersebut di atas
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Menteri  Keuangan  akan  mengatur  tata  cara  penghapusan  dan  menentukan besarnya jumlahpiutangpajak yang tidak dapat ditagihlagi. Melalui cara ini akandapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutangpajak yang, akan dapat ditagih atau dicairkan.
Pasal 25
Ayat (1)
Perkataan "suatu" dalam ayat ini, dimaksudkan bahwa satu keberatan harus diajukan  untuk  satu  jenis  pajak  dan  satu  tahun  pajak,  misalnya:  Pajak Penghasilan Tahun Pajak 1985 dan Tahun Pajak 1986. Keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Penghasilan Tahun 1985 dan Tahun 1986 tersebut, harus  diajukan  masing-masing   dalam  satu  Surat  Keberatan  tersendiri. Untuk duatahunpajak tersebut harus diajukan duabuah Surat Keberatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Batas waktupengajuan Surat Keberatan ditentukandalam waktutigabulan sejak   diterbitkannya   Surat   Ketetapan   Pajak   atau    SKP   sebagaimana ditentukan dalam ayat(1), dengan maksud
agar supaya Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan Surat Keberatan beserta alasannya. Apabilaternyata bahwa batas waktu tiga bulan tersebut tidak  dapat  dipenuhi  oleh Wajib Pajak, karena  keadaan  di  luar  kekuasaan  Wajib  Pajak  (force  mayeur),  maka tenggang waktu selama tiga bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur JenderalPajak.
Ayat (4)
Tanda  bukti/Resi  penerimaan  Surat  Keberatan  sangat  diperlukan  untuk memenuhiketentuan formal. Diterima atau tidaknya hak mengajukan Surat Keberatan   dimaksud,   tergantung   dipenuhinya   ketentuan   batas   waktu sebagaimana dimaksuddalam ayat (3), yang dihitung mulaiditerbitkannya sampai saat diterimanya Surat Keberatan tersebut.
Tanda bukti  atau resi penerimaan tersebut  oleh Wajib Pajak dapat juga digunakan sebagai alat kontrol baginya, untuk mengetahui sampai kapan batas waktu dua belas bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ituberakhir.
Tanda bukti atau resi penerimaan itudiperlukanuntuk memastikanbahwa keberatannya dikabulkan, apabila dalam jangkawaktu tersebut Wajib Pajak tidak menerima surat balasan dari Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukannya. Inilah yang dimaksuddengan kata "kepentingan" dalam ayat ini.
Ayat (5)
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan- alasan yang kuat,  Wajib  Pajak  diberi  hak  untuk  meminta  dasar-  dasar  pengenaan, pemotongan  atau  pemungutan  pajak  yang  telah  ditetapkan,   sebaliknya Direktur JenderalPajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut di atas.
Ayat (6)
Untuk  mencegah  usaha  penghindaran   atau  penundaan  pajak  melalui pengajuan    Surat   Keberatan,   maka    pengajuan    keberatan    itu   tidak menghalangitindakan penagihan. Ketentuan ini perludicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak dengan dalih mengajukan keberatan, untuk tidak melakukan  kewajiban  untuk  membayar  pajak  yang  telah   ditetapkan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan negara.
Pasal 26
Ayat (1)
Terhadap  Surat Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak kewenangan penyelesaian  dalam  tingkat pertama  diberikan  kepada  Direktur  Jenderal Pajak   dengan   ketentuan   batasan   waktu  penyelesaian   keputusan   atas keberatan  Wajib  Pajak  ditetapkan  paling  lama   dua  belas  bulan   sejak tanggal  Surat  Keberatan  diterima.  Dengan  ditentukannya  batas  waktu penyelesaian  keputusan  atas  keberatan  tersebut,  berarti  akan  diperoleh suatu  kepastian  hukum  bagi  Wajib  Pajak   di   samping  terlaksananya administrasi perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ayat   ini    mengharuskan   Wajib    Pajak   membuktikan    ketidakbenaran ketetapan pajak, dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan, Surat Ketetapan Pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT Tahunan,  meskipun  telah  ditegor  secara  tertulis,  atau  tidak  memenuhi kewajiban     menyelenggarakan     pembukuan,     atau     menolak     untuk memberikan  kesempatan  kepada  pejabat  pemeriksa  memasuki  tempat- tempat  tertentu  yang  dipandang  perlu,  dalam  rangka  pemeriksaan  guna menetapkan besarnya jumlah pajak yang terhutang. Apabila Wajib Pajak tidak  dapat  membuktikan  ketidakbenaran  Surat  Ketetapan  Pajak  secara jabatan itu, makakeberatannya ditolak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Dalam  hal  Wajib  Pajak  masih  merasa  kurang  puas  terhadap  keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukan, Wajib Pajak masih diberi kesempatan untuk mengajukan banding ke badan peraduan pajak, dalam hal seperti yang ada sekarang Majelis Pertimbangan Pajak, dalam jangka  waktu  tiga  bulan  sejak  tanggal  keputusan  keberatan  tersebut. Dengan  demikian bagi Wajib Pajak telah  diberikan  cukup waktu untuk menyiapkan  Surat  Banding  beserta  alasan-alasan  dan  bukti-bukti  yang diperlukanbagi badan peradilanpajak tersebut.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 25 ayat (2).
Ayat (3)
Lihat penjelasan Pasal 25 ayat (6).
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada  dasarnya  setiap  orang/Badan  yang melakukan kegiatan usaha  atau pekerjaan bebas diharuskan mengadakan pembukuan. Tetapi bagi Wajib Pajak yang karena kemampuannya belum memadai, dimungkinkan untuk dibebaskan dari kewajiban mengadakan pembukuan.
Yang   dimaksud    dengan    "dibebaskan"   dari    kewajiban    mengadakan pembukuan  dalam  ayat  ini,  tidak  diartikan  bahwa  Wajib  Pajak  untuk seterusnya     tidak     berusaha     untuk     meningkatkan     kemampuannya menyelenggarakan  pembukuan  secara  lengkap  dan  baik,  sehingga  sama sekalitidak memiliki pembukuandalam menyelenggarakanusahanya.
Sepanjang kemampuan tersebut belum dimiliki, Wajib Pajak dibenarkan untuk   hanya   membuat    catatan-catatan   yang   merupakan   pembukuan sederhana  yang  memuat   data-data  pokok  yang   dapat   dipakai  untuk melakukan  penghitungan  pajak  yang  terhutang  bagi  Wajib  Pajak  yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pembukuan  dan  dokumen-dokumen  yang  berhubungan  dengan  kegiatan usaha atau perusahaan harusdisimpan selama sepuluhtahun, supaya dalam batas waktu tersebut apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat  ketetapan  pajak,  bahan  pembuktian  yang  diperlukan  masih  tetap tersedia.Kurun   waktu   sepuluh   tahun   harus   disimpannya   pembukuan dokumen-dokumen  yang  menjadi   dasar  pembukuan   adalah  taat   asas (konsisten) dengan ketentuan Pasal 40 mengenai gugurnya tuntutan pidana perpajakan.
Pasal 29
Ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak,  dalam rangka melaksanakan tugas pemungutan pajak,   diberikan   wewenang   untuk   melaksanakan   pemeriksaan,   guna keperluan penetapan pajak yang terhutang  dan keperluan-keperluan  lain dalam  rangka  melaksanakan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan perpajakan.
Tujuan pemeriksaan, terutama adalahuntuk memperoleh/ mengumpulkan bahan-bahan yang dijadikandasaruntuk:
a.   menerbitkan Surat Ketetapan Pajak/Surat Ketetapan Pajak Tambahan;
b.   menerbitkan Surat Pemberitaan;
c.   menerbitkan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak.
d.   hal-hallain yang berhubungandengan administrasi perpajakan.
Pengertian "tujuan lain" dalam ayat ini dimaksudkan adalah pemeriksaan dalam rangka yang menyangkuthal-hal sebagai berikut :
a.   menyusun Norma Penghitungan;
b.   mencocokkandatadanalat keterangan;
c.   menentukan besarnya pembayaran pajak dalam suatu Masa Pajak bagi Wajib Pajak baru;
d.   hal-hallain yang berhubungandengan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Oleh    karena    pembukuan,    catatan-catatan,    dokumen-dokumen    yang berkaitan  dengan  kegiatan  usaha  dan  keterangan-keterangan  lain  yang diperlukan  demikian  penting  peranannya  dalam  menentukan  besarnya pajak yang terhutang, maka apabila diminta oleh petugas pemeriksa, Wajib Pajak harus memperlihatkan atau meminjamkannya. Bilamana pembukuan, catatan-catatan,   dan   dokumen-dokumen   yang   diperlukan   tidak   dapat diberikan  oleh  Wajib  Pajak  dengan  dalih  untuk  menghindarkan  diri, berdasarkan ayat ini petugas pemeriksadibolehkan memasuki tempat atau ruangan  yang  menurut  dugaan  petugas  pemeriksa  digunakan  sebagai tempat penyimpanan buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen tersebut.
Ayat (4)
Untuk   mencegah    adanya   dalih    terikat   pada   kerahasiaan,    sehingga pembukuan,   catatan,   dokumen   serta  keterangan-keterangan   lain  yang diperlukan   tidak   dapat   diberikan   oleh   Wajib   Pajak,   maka   ayat   ini menegaskan bahwakewajiban merahasiakan itudapat ditiadakan.
Pasal 30
Terhadap  orang  atau  badan  yang  pada   saat   dilakukan  pemeriksaan  tidak bersedia  memberi  kesempatan  kepada  petugas  pemeriksa  untuk  memasuki tempat-tempat/ruangan-ruangan  tertentu  yang  diduga  disimpan  di  dalamnya pembukuan,  dokumen-dokumen,  dan  catatan-catatan,  sehingga  pembukuan, dokumen-dokumen, dan catatan-catatan yang diperlukantidak dapat diperoleh, maka  Wajib  Pajak  dianggap  menghalang-halangi  pelaksanaan  pemungutan pajak.
Dalam   hal   demikian    Direktur   Jenderal   Pajak    diberi   wewenang   untuk melakukan tindakan penyegelan tempat atau ruangan- ruangan tertentu yang diperkirakan  sebagai  tempat  penyimpanan  pembukuan,  catatan-catatan,  dan dokumen-dokumen guna mengamankan atau mencegah hilangnya pembukuan, catatan-catatan dandokumen-dokumen tersebut.
Pasal 31
Untuk    terlaksananya    keseragaman,    ketertiban,    dan    kesatuan    tindakan pelaksanaan  pemeriksaan,  perlu  diatur  ketentuan  dan  tata  caranya  dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
Ayat (1)
Dalam  Undang-undang  ini  ditentukan  siapa  yang  menjadi  wakil  untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap Badan, Badan  dalam  pembubaran,  warisan  yang  belum  dibagi  dan  anak  yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampunan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya, guna  melakukan  tindakan  hukum,  melaksanakan  hak  dan  kewajiban perpajakan, oleh karena merekatidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiritindakanhukum tersebut.
Ayat (2)
Pengecualian  yang  dimaksud  dalam  ayat  ini  harus  dengan  pembuktian bahwa   dalam   kedudukannya   sebagai   wakil   menurut   kewajaran   dan kepatutan   tidak   mungkin    dimintakan   pertanggungjawabannya   secara pribadidan/atau secara renteng.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan kelonggaran dari kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta  bantuan  orang  lain  yang  memahami  masalah  perpajakan  sebagai kuasanya,  untuk  dan   atas  namanya  membantu  melaksanakan  hak  dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban  formal  dan  material  serta  pemenuhan  hak  Wajib  Pajak yang ditentukandalam undang-undang perpajakan.
Pasal 33
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pembeli atau konsumen  barang  atau  penerima  jasa,  karena  itu  sudah  seharusnya  apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasabertanggung jawab renteng atas  pembayaran  pajak  yang  terhutang  apabila  ternyata  bahwa  pajak  yang terhutang tersebut tidak dibayarnya.
Pasal 34
Ayat (1)
Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas dibidang perpajakan,  dilarang  mengungkapkan  kerahasiaan  Wajib  Pajak yang menyangkut masalah perpajakan. Masalah kerahasiaan tersebut perlu
mendapatkan   perlindungan,   untuk  mencegah  disalahgunakannya  bahan keterangan …
keterangan    Wajib    Pajak,    dalam    usaha     persaingan    dagang    atau mengungkapkan   keadaan   asal   usul   kekayaan   atau   penghasilan   yang diperoleh, yang padahakekatnya merupakan rahasia pribadi, sesuaidengan asas hukumpajak.
Ayat (2)
Para ahli seperti ahli/juru bahasa, akuntan, pengacara dan sebagainya yang ditunjuk   oleh  Direktur  Jenderal  Pajak  untuk  membantu  pelaksanaan undang-undang perpajakan, padahakekatnya adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Ayat (3)
Untuk  kepentingan  pengamanan  keuangan  negara  yang  dilakukan  oleh, pejabat pemeriksa yang ditugaskanuntukitu,baikoleh pejabat pemeriksa Badan    Pemeriksa    Keuangan,    Badan     Pengawasan    Keuangan    dan Pembangunan, Menteri Keuangan dapat memberikan izin kepada Badan- badan tersebut, untuk melihat bukti-bukti perpajakan yang terikat dengan kerahasiaan   sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat(1)dan   ayat(2),   dalam rangka melaksanakan tugas pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara yang adahubungannya dengan masalah perpajakan.
Ayat (4)
Untuk  melaksanakan  pemeriksaan  disidang  pengadilan  dalam  perkara pidana yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan,  Menteri  Keuangan  dapat  memberikan  izin  pembebasan  atas kewajiban   kerahasiaan   kepada   pejabat   pajak   termasuk  pejabat   yang ditugaskan dalam badan peradilan perpajakan atau Majelis Pertimbangan Pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)dan ayat(2), atas permintaan tertulis Hakim ketua sidang.
Ayat (5)
Maksud dari ayat ini adalah merupakan pembatasan dan penegasan, bahwa keterangan  perpajakan  yang  diminta  tersebut  adalah  hanya  mengenai perkara pidana tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakandan hanya terbatas padatersangka yang bersangkutan.
Pasal 35
Ayat (1)
Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, pihak  ketiga  yang  mempunyai  hubungan   dengan  Wajib  Pajak  yang diperiksa, seperti Konsulen Pajak, Akuntan Publik, Notaris dan pihak atau orang lainnya yang adahubungannya dengantindakan atau kegiatanusaha Wajib Pajak harus memberikan keterangan dan bukti-bukti yang diminta
petugas  Direktorat JenderalPajak  dalam rangka pemeriksaan Wajib Pajak  yang …
yang  bersangkutan.  Bahan  keterangan  atau  bukti  yang  diminta  tersebut diperlukan    untuk    melengkapi    bahan    keterangan    perpajakan    guna menghitung  dan  menentukan  besarnya  jumlah  pajak  yang   sebenarnya terhutang bagi Wajib Pajak yang diperiksa. Selain itu, ketentuan dalam ayat ini  dimaksudkan  pula  untuk  mencegah  adanya  usaha  menyembunyikan bahan keterangan atau bukti-bukti mengenai perpajakan ditempat- orang lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Dapat   saja   terjadi   dalam   praktek,   bahwa   sanksi   administrasi   yang dikenakan kepada Wajib Pajak, karena ketidaktelitian petugas pajak dapat membebani   Wajib  Pajak  yang  tidak  bersalah   atau  tidak  memahami peraturan perpajakan. Dalam hal yang demikian, sanksiadministrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur JenderalPajak.
Demikian   juga    Direktur    Jenderal    Pajak    karena    jabatannya,    dan berlandaskan  unsur  keadilan   dapat  mengurangkan   atau  membatalkan Ketetapan  Pajak  yang  tidak  benar,  misalnya  Wajib  Pajak  yang  ditolak pengajuan      keberatannya      karena      tidak      memenuhi      persyaratan formal(memasukkan  Surat  Keberatan  tidak  pada  waktunya)  meskipun persyaratan material terpenuhi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Sesuai  dengan keadaan  ekonomi  keuangan, nilai uang  akan  dapat berubah- ubah. Karena itu undang-undang memberikan wewenang kepada Pemerintah apabiladiperlukandapat mengeluarkan Peraturan Pemerintahuntuk mengubah dan   menyesuaikan    besarnya   sanksi    administrasi   berupa    bunga,   denda administrasi, dan kenaikansesuaidengan keadaan ekonomikeuangan.
Pasal 38
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang  menyangkut  tindakan  administrasi  perpajakan   dikenakan  sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidanadi bidang perpajakan, dikenakansanksi pidana.
Dengan adanya sanksipidana tersebut,diharapkan tumbuhnya kesadaran bagi Wajib Pajakuntuk mematuhi atau melakukan
kewajiban   perpajakannya   seperti   yang   ditentukan   dalam   undang-undang perpajakan.
Kealpaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidakhati-hatidantidak memperdulikan kewajibannya, sehingga perbuatannya tersebut mengakibatkankerugian bagi negara.
Pasal 39
Ayat (1)
Perbuatan  atau  tindakan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  ini  yang dilakukandengan sengajabukan lagi merupakan pelanggaran administrasi tetapi  merupakan  tindak  pidana  kejahatan,  karena  itu  diancam  dengan pidana yang lebih berat daripada perbuatan karena kealpaan yang sifatnya adalah pelanggaran.
Ayat (2)
Untuk   mencegah   terjadinya   pengulangan    tindak   pidana    di   bidang perpajakan,  maka  bagi  mereka  yang  melakukan  lagi  tindak  pidana  di bidang  perpajakan  sebelum  lewat  satu  tahun  sejak  selesai  menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenakan pidana lebih berat, ialah dua kali lipat dari ancaman pidana yang diaturdalam ayat (1).
Pasal 40
Tindak pidana di bidang perpajakan daluwarsa sepuluh tahun, dari sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum dan Hakim. angkawaktu sepuluh   tahun   tersebut    adalah   untuk    menyesuaikan   dengan    daluwarsa penyimpanan     dokumen-dokumen     perpajakan      yang     dijadikan      dasar penghitunganjumlahpajak yang terhutang,selama sepuluhtahun.
Pasal 41
Ayat (1)
Untuk  menjamin  bahwa   kerahasiaan  mengenai  perpajakan  tidak   akan diberitahukan pada pihak lain, dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data-data  dan  keterangan  tidak  ragu-ragu,  dalam  rangka  pelaksanaan undang-undang perpajakan, maka perluadanya sanksipidana bagi pejabat yang     bersangkutan     yang      menyebabkan     terjadinya      pelanggaran pengungkapankerahasiaan tersebut.
Pelanggaran   kerahasiaan   yang    dilakukan   menurut    ayat   ini,    adalah dilakukan karena kealpaannya dalam arti lalai, tidak hati-hati atau tidak memperdulikan    sehingga    kewajiban    untuk    merahasiakan    keadaan, keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh   undang-undang   perpajakan,dilanggar.    Atas   pelanggaran    karena kealpaannya  tersebut  dihukum  dengan  hukuman  yang  setimpal  dengan kealpaannya tersebut.
Ayat (2)
Ketentuan   yang   diatur   dalam   ayat   ini   adalah   berunsur   kesengajaan sehingga mengakibatkan pembocoran kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal  34.  Karena  itu  hukumannya  lebih  berat  dibanding  dengan sanksipidana yang ditentukan dalam ayat(1).
Unsur   kesengajaan    tersebut    menjurus   pada    kejahatan,    karena   itu hukumannya sesuaidengan perbuatan kejahatan tersebut.
Ayat (3)
Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam   ayat(1)dan   ayat(2)sesuai   dengan   sifatnya,   adalah   menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau Badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikantindak pidana pengaduan.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ketentuan pidana di bidang perpajakan tidak saja ditujukan kepada diri Wajib Pajak, tetapi juga kepada pihak lain yang ditunjuk sebagai wakil, kuasa atau pegawai Wajib Pajak yang diberipelimpahan tanggung jawab atau tanggung jawab secara renteng atas pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang dipercayakandandikuasakan padanya.
Pasal 44
Ayat (1)
Penyidikan  di  bidang  perpajakan  adalah  serangkaian  tindakan  penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang diperlukan,sehingga dapat membuat terang tentang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi, dan guna menemukantersangka serta mengetahui besarnya pajak terhutang yang  diduga  digelapkan.  Penyidik  di  bidang  perpajakan  adalah  pejabat pegawai  negeri  tertentu  di  lingkungan  Direktorat  Jenderal  Pajak  yang diangkat  oleh  Menteri  Kehakiman  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyidikantindak pidana dalambidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 45
Meskipun   undang-undang   perpajakan   yang    lama   telah   dicabut    dengan diundangkannya    Undang-undang    ini,    untuk    menampung     penyelesaian penetapan   pajak-pajak   terhutang   pada   masa   atau   tahun   pajak   sebelum berlakunya   Undang-undang   ini,   yang  pelaksanaannya  masih  berdasarkan ketentuan  peraturan  perundang-undangan  perpajakan  lama,  maka  Undang- undang   ini   menentukan  jangka   waktu   berlakunya   peraturan   perundang- undangan lama sampai dengan tanggal 31 Desember  1988.Penentuan jangka waktulima tahuntersebut disesuaikandengandaluwarsa penagihan pajak.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ordonansi  Pajak  Perseroan   1925  dan  Undang-undang  Pajak  atas  Bunga, Dividen,  dan  Royalti   1970  beserta   semua  peraturan  pelaksanaannya  tetap berlaku terhadap penghasilan kenapajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi dan dalam bidang penambangan lainnya yang dilakukan dalam rangka perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi  Hasil.sepanjang  perjanjian  Kontrak  Karya  dan  Kontrak  Bagi  Hasil tersebut masih berlakupada saat berlakunya Undang-undang ini.
Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalambidang penambangan minyak dan gas bumi yang  dilakukan  dalam  bentuk  perjanjian  Kontrak  Karya  dan  Kontrak  Bagi Hasil, apabila perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut dibuat setelah berlakunya Undang-undang ini.
Pasal 48
Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya  sudah  dicantumkan  dalam  Undang-undang  ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.Dengan demikian akan lebih mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaan Undang-undang inidan tata cara yang diperlukan.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 3262



回复

使用道具 举报

Copyright © 2001-2013 Comsenz Inc. Powered by Discuz! X3.4 京公网安备 11010802035448号 ( 京ICP备19053597号-1,电话18600416813,邮箱1479971814@qq.com ) 了解Tax100创始人胡万军 优化与建议 隐私政策
快速回复 返回列表 返回顶部